8 Hari Mencari Jati Diri: Mejuah-Juah Medan! (Part 4)
Malam setelah menonton Barongsai adalah malam pendek yang harus saya lalui. Di kamar hotel saya ada kakak saya dan kakak sepupu saya yang beli bir yang rasanya antah-berantah (mendingan beli Heineken, jelas rasanya) dan dicampur dengan cocacola yang menjadikannya rasanya tambah aneh. Pukul 01.30 saya baru bisa tidur, sementara taksi bandara yang sudah dipesankan kakak saya akan menjemput saya dan kakak saya pukul 03.15. Itu artinya hanya sekitar 1 jam saya tidur. Saya tidur setidur tidurnya.
Pukul 02.45 saya sudah terbangun. Kakak-kakak saya baru saja menghabiskan bir. Saya segera mandi berendam air panas dan packing pakaian yang belum dipacking. Diusahakan tas sekecil-kecilnya biar tidak masuk bagasi.
Bukit Bintang masih sangat gelap malam itu, tapi cafe-cafe di depan hotel masih sangat ramai. Beberapa wanita tuna susila berbagai macam ras baru saja selesai menemani tamu-tamunya. Beberapa turis mabuk juga bergelimpangan di depan cafe.
Taksi saya ini adalah Airport Limo untuk yang kelas paling murah. Ada 3 kelas: budget, standar, dan eksekutif. Biaya yang harus kami keluarkan adalah sekitar MYR 92 dengan mobil yang kami dapat adalah Proton Waja. Taksi Bosowa Surabaya banyak menggunakan mobil jenis ini sebagai armada taksinya.
Saya kali ini ditemani oleh kakak saya. Selain takut hilang, kakak saya juga ingin jalan-jalan ke KLIA. Apalagi rute kepulangan kakak dan keluarga budhe saya tidak melalui KLIA, tapi lewat LCCT karena menggunakan AirAsia. Jarak dari Bukit Bintang ke KLIA sekitar 150 km dan seharusnya ditempuh selama 1-2,5 jam. Kali ini taksi hanya membutuhkan waktu 55 menit untuk tiba di KLIA. Itupun sudah termasuk lewat sedikit Putrajaya.
Kami berdua langsung di drop di keberangkatan internasional. Bandara pagi itu masih sangat sepi sekali. Dan bagi saya, ambil pesawat pukul 06.15 dari KLIA ke Kualanamu Medan adalah sebuah kesalahan besar dimana harga tiket pesawat dan harga taksi dari Bukit Bintang ke KLIA nyaris sama (saya dapat tiket Malaysia Airlines KUL-KNO seharga Rp 422.000, sementara taksinya seharga hampir Rp 400.000). Transport lain seperti kereta KLIA Ekspress dan KLIA Transit baru tersedia pukul 05.00 dari KL Sentral dan bis KL Sentral-LCCT juga baru tersedia pukul 06.00. Maka, taksi tetap pilihan utama dan mengambil tiket 06.15 adalah pilihan terbodoh.
Kuala Lumpur International Airport
Petunjuk yang jelas di KLIA
Kami segera masuk ke bandara yang sangat besar ini meskipun lebih besar Changi. Bandara ini sekilas hanya terlihat 1 lantai saja. Tapi ternyata ada 3 lantai di bawah kami: tempat boarding, tempat makan, dan stasiun KLIA Ekspress. Kami segera mencari counter Malaysia Airlines. Namun, nampaknya semua masih tutup. Kami dengan katrok mencoba mesin check in otomatis, tapi gagal tidak bisa diproses. Kami berjalan muter-muter bandara, dan akhirnya menemukan counter check-in Malaysia Airlines. Kami check-in dengan bahasa malaysia yang luar biasa susahnya dipahami. Setelah check-in beres, kami berjalan turun dengan menggunakan lift. Petunjuknya sangat jelas dan bagus di bandara KLIA ini. Kata kakak saya, LCCT bandaranya sangat parah, mirip SHIA di Jakarta. Akses, informasi tarif, dan jadwal KLIA Ekspress pun sangat jelas.
Check In Counter KLIA
Setelah waktu mendekati pukul 04.45, saya dipersilakan boarding oleh kakak saya. Sementara kakak saya menunggu di bagian atas imigrasi untuk menjaga jika ada masalah di imigrasi. Kadang imigrasi tidak bisa ditebak, bisa tiba-tiba ada masalah. Setelah masuk imigrasi, pemeriksaan berjalan dengan lancar. Cuma dilihat, scan, cap, selesai. Setelah beres, saya mengacungkan jempol ke kakak saya yang melihat dari lantai 4. Kemudian saya bergerak masuk ke gate H10 sambil melambai ke kakak saya. Sementara itu, kakak saya meneruskan perjalanan kembali ke Bukit Bintang dengan menggunakan KLIA Ekspress yang hanya membutuhkan waktu 28 menit untuk tiba di KL Sentral. Kakak saya masih harus membimbing pakdhe-budhe dan kakak sepupu saya hingga tiba di Jogjakarta lagi.
Saya memasuki bandara yang benar-benar sepi karena hari masih gelap. Kalau di Jogja ibarat masih jam 2 pagi. Saya pikir jam 6 matahari di Malaysia sudah terbit. Saya menyusuri lorong-lorong mengikuti petunjuk yang sangat jelas. Sangat sepi. Cuma seorang bapak bersama anaknya yang sedang mencoba travelator. Travelator di KLIA lebih lambat daripada yang ada di Changi.
Hingga tibalah saya di gate H10. Hanya ada 4 orang disana, 5 termasuk saya. Penerbangan pagi itu di gate H10 hanya ke tujuan Kualanamu dan ke India. Saya duduk di kursi di depan gate. Sangat nyaman meskipun bukan kursi yang empuk, tapi lumayan untuk tidur barang 30 menit. Sementara petugas penjaga gate masih asyik ngobrol sambil makan.
Pukul 05.15, gate belum juga dibuka. Penumpang yang ada disitu juga tidak bertambah jumlahnya. Pukul 05.30 akhirnya gate dibuka. Petugas memanggil seluruh penumpang tujuan Kualanamu. Hanya saya yang beranjak dari tempat duduk. Di belakang saya hanya ada 2 perempuan dan 2 laki-laki. Itu artinya sementara ini penumpang KUL-KNO hanya ada 5 orang. Pengecekan berlangsung tidak terlalu ketat. Kami langsung dipersilakan masuk ke ruang tunggu. Total orang yang masuk akhirnya ada 11 orang, sementara waktu masih menunjukkan pukul 05.45. Tak beberapa lama, kami semua dipersilakan masuk ke dalam pesawat. Lagi-lagi saya yang pertama masuk ke pesawat. “Mungkin masih ada banyak orang di belakang”, pikir saya.
Hingga pukul 06.05, penumpang masih tetap saja dan pesawat sudah bersiap menuju ke landasan pacu. Boeing 737-800 milik Malaysia Airlines ini benar-benar berasa pesawat milik pribadi. Dari sekitar 150 kursi hanya diisi 11 penumpang dan 5 kru udara.
Kebetulan saya duduk di bagian sayap, persis dekat mesin. Jadi suara mesin sangat terdengar. Proses penerangan cara memasang sabuk pengaman, dlsb dilakukan tanpa peragaan dari pramugari, tapi menggunakan layar yang tersedia tiap 3 deret bangku. Semuanya full menggunakan bahasa Malaysia dan bahasa Inggris yang dua-duanya saya tidak paham .___.
Setelah siap semuanya, pesawat take off. Lagi-lagi saya merasa landasan pacu di Malaysia ini kalah halus dengan Juanda, Adisucipto, atau Soekarno-Hatta. Tapi tetap Malaysia Airlines melakukan take off dengan mulus.
Perjalanan dalam gelap gulita pagi selama 40 menit berakhir ketika pesawat mendarat dengan selamat di Kualanamu. Bandara baru ini nampak lebih besar, lebih sepi, dan lebih tertata jika dibandingkan dengan bandara lainnya. Bentuknya nyaris mirip dengan KLIA, hanya memang lebih kecil saja. Pagi itu, pukul 06.10 (penerbangan -5 menit karena selisih waktu Kualalumpur dan Kualanamu adalah 1 jam) masih gelap gulita. Hanya ada 2 pesawat Lion Air, 1 pesawat Wings Air, dan 1 pesawat AirAsia terparkir di parkiran pesawat Bandara Kualanamu.
Ticket Counter Kualanamu Airport
Pintu Keluar KNO
Saya bergegas keluar dari pesawat dan menuju ke pintu keluar bandara. Tujuan saya hanya mengejar kereta paling pagi dari Kualanamu ke Medan. Tidak ada pilihan tercepat lainnya selain naik Airport Railink Service (ARS) dari bandara ke kota medan. Naik bis Damri kabarnya dari Kualanamu ke Medan kota membutuhkan waktu lebih dari 1 jam, itupun turun di Tanjung Morawa. Petunjuk di dalam bandara cukup jelas untuk mengarahkan penumpang ke pintu keluar. Hanya memang lokasi imigrasinya tidak terlalu bagus. Checking barang bawaannya juga tidak terlalu bagus. Luas, tapi hanya ada 2 mesin checking barang saja. Petunjuk di dalam bandara memang bagus, tapi ketika tiba di pintu keluar, petunjuk yang sangat jelas hanya Stasiun ARS saja. Petunjuk untuk moda transportasi lain selain ARS tidak jelas, bahkan tidak ada. Kondisi ini cenderung dimanfaatkan taksi-taksi gelap untuk mencari penumpang.
Kereta ARS paling pagi adalah pukul 05.05. Jadwal keberangkatan saya paling dekat adalah pukul 07.30. Saya membeli tiket seharga Rp 80.000 untuk Kualanamu-Medan. Memang selisih sangat jauh dengan naik Damri. Naik Damri hanya dikenakan biaya sekitar Rp 20.000. Rp 5.000 untuk naik angkotnya. Jadi total sekitar Rp 25.000. Sembari menunggu keberangkatan kereta yang masih 1 jam lagi, saya duduk-duduk di stasiun ARS yang masih baru dan sangat nyaman sambil menikmati kacang asin, snack dari Malaysia Airlines dari flight tadi. Waktu sisanya saya gunakan untuk mengabari orang di rumah bahwa saya sudah sampai di Medan dan petualangan baru akan dimulai.
Tiket ARS dan ruang tunggunya
Pukul 07.15 semua penumpang ARS dipersilakan naik ke dalam kereta. Keretanya cukup nyaman, tidak ada suara deru mesin seperti ketika naik Prambanan Ekspress atau Komuter Surabaya-Sidoarjo-Porong. Acnya juga dingin dan kursinya nyaman seperti kursi bis patas. Masing-masing penumpang mendapatkan nomor tempat duduk. Kebetulan kereta saat itu sepi, jadi saya duduk di tempat yang saya rasa nyaman.
Interior ARS
Pukul 07.30 tepat kereta diberangkatkan. Waktu perjalanan dari Kualanamu ke Medan adalah 47 menit. Kanan kiri rel hanya terlihat kabut saja. Maklum, masih sangat pagi sekali. Saya beberapa kali terlelap dalam tidur karena badan yang sangat capek. Apalagi semalam saya Cuma tidur 1 jam saja di hotel.
Hampir tiba di Stasiun Besar Medan, saya terbangun dari tidur. Situasi kanan kiri rel tidak jauh beda kalau memasuki stasiun-stasiun besar di Jawa: banyak rumah kumuh di kanan kiri. Rel juga masih single track. Lebih tepatnya sebenarnya mirip dengan masuk Surabaya Gubeng ketika dulu masih belum double track. Saya mengasumsikan Medan ini mirip dengan Surabaya.
Pukul 8 kurang, kereta merapat di Stasiun Besar Medan, tapi sepertinya merapat ke stasiun baru yang memang dibangun khusus untuk ARS. Ada jembatan besar yang menghubungkan stasiun khusus ARS dan stasiun besar Medan lama. Untuk bisa sampai di pintu keluar, kami harus naik ke lantai 2 dulu, baru turun ke lantai 1. Disitulah pintu keluar untuk ARS.
Awalnya saya cukup bingung karena ternyata pintu keluarnya tidak langsung ke Lapangan Merdeka. Padahal, target awal tujuan saya adalah Lapangan Merdeka. Dari situ akses ke semua tujuan saya di Medan sangat mudah.
Waktu sudah semakin siang. Tiba-tiba saja sudah hampir 08.30. Denyut nadi kehidupan kota Medan semakin nampak, sementara saya juga harus bergegas mencari sarapan dan bertolak ke Sibolangit, tempat tujuan pertama saya di Medan ini. Waktu yang saya susun memang sangat berhimpitan. Ngepres bahasa gaulnya. Sehingga, mau tidak mau butuh kedisiplinan ekstra untuk menjalankan rundown ini.
Dari Jl Jawa, saya ditawari naik becak. Tujuan saya kali ini sebelum beranjak ke Sibolangit adalah ke Soto Medan Sinar Pagi yang ada di Jl Sei Deli. Tukang becak hanya sedikit yang tahu. Akhirnya, bermodalkan Google Maps dari Blackberry yang saya bawa, saya mencari akses jalan terdekat dengan BB saya. Rupanya jaraknya hanya sekitar 1,6 km. Saya memutuskan untuk berjalan kaki saja, apalagi trotoar sepertinya cukup baik. Sekalian menikmati udara pagi Medan. Persis seperti petualang backpacker di film-film atau acara di TV, saya membawa tas carrier saya di punggung, berjaket, bersepatu gunung, tapi menyusuri jalanan kota -____-
Perjalanan tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar 30 menit saja. Banyak orang menyapa saya dengan bahasa Medan, dan saya pun urung membalasnya karena saya nggak tau sama sekali bahasa Medan yang kedengarannya hampir mirip dengan Bahasa Madura ini. Hanya senyum yang muncul dari bibir saya.
Soto Sinar Pagi saat itu ramai sekali. Saya datang, memesan, dan langsung makan. Kabarnya, soto Medan Sinar Pagi ini kuliner wajib bagi yang berkunjung ke Medan. Dan ternyata benar: soto dengan kuah santan dengan rasa asam manis langsung memenuhi rongga mulut dan membuat energi terbakar membara *lebay*. Sayangnya hanya satu, harganya yang kurang masuk akal. Sekali makan habis RP 34.000,00 untuk saya sendiri.
Setelah sarapan, saya mencari petunjuk dari penjual soto untuk mendapatkan angkot tujuan Simpang Pos. Untuk menuju ke arah Sibolangit-Berastagi, saya harus naik angkutan umum sejenis ELF dari Simpang Pos. Setelah mendapatkan arahnya dan jenis angkotnya, saya kembali berjalan menuju jalan utama.
Waktu semakin siang, dan tiba-tiba saja sudah hampir jam 10. Angkot di Medan sangat banyak, sehingga tidak butuh waktu lama untuk menunggu angkot warna merah yang akan mengantar saya ke Simpang Pos. Segera saya naik angkot dan segera pula saya menjadi pusat perhatian bagi ibu-ibu di dalam angkot. Angkot langsung ngebut, rasanya seperti naik bis Surabaya-Jogja. Biasa, sopir Batak memang terkenal gila-gila dalam membawa kendaraan. Begitu juga angkot ini.
Dari Sei Deli ke Simpang Pos berjarak sekitar 8 km. Kalau jalanan lancar, seharusnya bisa ditempuh dalam waktu maksimal 20 menit. Namun ternyata jalanan padat, dan angkot harus sedikit memutar jalur. Waktu 25 menit harus saya lalui di angkot yang jalannya ngebut dan mepet-mepet kendaraan lain. Hidup berlalulintas di Medan benar-benar keras -_____-
Sopir Angkot di Medan baik-baik. Ketika sudah tiba di suatu daerah yang ada jembatan layangnya, saya diingatkan bahwa tempat tersebut adalah Simpang Pos. Saya turun dan segera membayar. Hanya Rp 5.000,00. Sekaligus saya tanya untuk ke Berastagi naik bus yang mana. Ternyata busnya ada di perempatan yang seberang. Lumayan jauh kalau jalan, 300 meter. Sopir angkot menyuruh saya naik lagi ke angkotnya dan menghantarkan sampai ke pangkalan bus ke Berastagi. Sebelumnya pun, saya ditawari mau naik yang apa: Murni Ekspress, Sinabung Jaya, dan Sumatra Transport (SUTRA). Awalnya saya ingin naik Sinabung karena track recordnya sebagai bus Medan-Berastagi yang paling kenceng. Tapi akhirnya saya bilang ke pak sopir untuk mencari yang paling nyaman saja. Saya diturunkan di depan pool Murni Ekspress. Sementara abang sopir angkot tadi sama sekali tidak menarik biaya tambahan.
Bus yang saya tumpangi ini sebenarnya menggunakan chasis truk sejenis Mitsubishi Canter yang kemudian dimodifikasi menjadi mobil penumpang yang lebih besar daripada ELF. Sebenarnya hampir mirip dengan bis Jogja-Tempel yang mini-mini. Tapi lebih lebar karena seatnya 2-2 (kanan 2, kiri 2). Saya bilang ke kernetnya agar menurunkan saya ke jalan menuju Air Terjun Sibolangit. Kernetnya langsung menjawab,”Oh, Bumi Perkemahan Sibolangit ya Bang?” dan saya mengiyakan.
Saya segera masuk ke dalam bis. Masih sepi, hanya ada 6 orang penumpang. Bis ini bisa memuat sampai 20 penumpang. TV di dalam bis sedang memutar lagu-lagu pop Batak lengkap dengan tariannya. Salah satunya ada lagu ABG Tua yang diaransemen menjadi Pop Batak. Gerakan tarian Batak ini benar-benar lucu dan unik.
Setelah 15 menit ngetem, bis diberangkatkan. Tetap dengan penumpang 6 orang. Di jalan, beberapa penumpang kembali naik. Saya memilih untuk memejamkan mata karena badan masih terasa capek. Seingat saya, bis ini melewati jalanan-jalanan kecil yang ngepres kalau dilewati 2 bis sejenis. Memang jalur Medan-Kabanjahe terkenal sebagai jalur maut dengan karakter jalan yang kecil dan jalur yang menikung.
Saya tertidur pulas karena kaca bis terbuka lebar, sementara hawa-hawa dingin pegunungan mulai terasa. Saya terbangun karena penumpang sebelah saya meminta izin akan turun. Setelah itu, saya terus terbangun karena melihat tulisan “Sibolangit” yang berarti saya sudah berada di daerah Sibolangit dan tujuan semakin dekat. Saya berpikir bahwa mungkin bumi perkemahannya sudah terlewat karena saya tertidur pulas. Dan saya juga tidak keberatan seandainya memang benar-benar sudah terlewat, karena hal ini biasa terjadi di Jawa. Kalau kelewat, ya sudah. Bukan salah kernet-kondektur, salah penumpangnya sendiri.
Jalanan mulai berkelok-kelok dengan beberapa tikungan 160 derajat. Nahlho, tikungannya sangat tajam sekali dengan jalan yang sempit. Sampai-sampai bis yang saya tumpangi nenggak tidak kuat naik sementara bis ini tidak punya hand rem sehingga bis menggelondor turun terus cukup jauh sampai akhirnya kernet berhasil turun dan mengganjal bus dengan batu. Setelah distarter mesinnya dan dimasukkan gigi yang pas, driver bis ini kembali memacu bisnya. Walaupun dalam kondisi demikian, driver bisnya tetap santai dan tenang. Padahal di belakang ada jurang dan di depan ada tebing. Katanya sih, sudah biasa -___-
Setelah jalan sudah kembali sedikit lurus, saya menyandarkan badan lagi dan sudah akan terpejam. Tiba-tiba abang kernet menepuk pundak saya
“Bang, Bumi Perkemahan Sibolangit. Ayo siap-siap.”
Saya pun segera bangun dan mempersiapkan tas saya. Ternyata benar, bis baru saja sampai di depan Bumi Perkemahan Sibolangit. Saya bergegas turun dan berterima kasih kepada abang kernet. Benar-benar kernet yang sangat baik hati, rela membangunkan penumpangnya. Tarifnya pun cukup murah, hanya Rp 10.000. Padahal jarak dari Medan ke Sibolangit sekitar 40 km.
Saya berdiri sejenak di seberang Bumi Perkemahan. Bingung karena mau cari ojek kok tidak ketemu, sementara Bumi Perkemahan ramai dengan anak pramuka. Katanya sedang ada event pramuka dari Jambi dan sekitarnya. Akhirnya saya nekat menyeberang dan masuk ke Bumi Perkemahan. Ada petunjuk untuk menuju ke air terjun Sibolangit. Berjalan 500 meter dan akan menemukan posko Ranger disana. Sayapun berjalan lagi sembari sesekali bertanya ke ibu-ibu penjaga warung di kanan kiri jalan.
Setelah berjalan selama 30 menit melalui jalan beraspal sebagian makadam, saya tiba di posko Ranger Sibolangit. Disana saya disambut oleh beberapa orang yang merupakan Ranger yang menjaga pos Sibolangit. Ada Ranger biru, ranger merah, ranger hijau :p
Saya dibiarkan duduk dan tenang terlebih dahulu karena jalan kaki ini cukup menyita energi. Saya diajak berkenalan dengan Ranger yang ada disana. Yang saya ingat namanya adalah Bang Tele Tabis (nama aslinya Aditya) yang kemudian nantinya menjadi partner perjalanan saya, Bang Roy yang kemudian jadi guide saya di Sibolangit, Pak Emanuel Sinuraya (kabarnya, beliau adalah yang menemukan air terjun dwi warna sekaligus sebagai kepala Ranger Sibolangit), Kepi (yang merupakan mahasiswi FKM USU angkatan 2010), dan seorang bapak yang merupakan kepala unit buper Sibolangit.
Kami ngobrol-ngobrol seolah-olah kami sudah lama kenal. Bahkan bapak kepala buper pun ternyata pernah tinggal cukup lama di Jogjakarta, mengelola unit pramuka yang ada di Jogjakarta. Beberapa tokoh pramuka Jogja masa-masa saya SMP pun saya sempat mengenalinya, karena beberapa tokoh tersebut pernah secara khusus hadir ke SMP saya. Oleh pak kepala buper, saya sempat diajak ngobrol dengan menggunakan bahasa Jawa krama hingga ranger-ranger yang lain akhirnya mengeluh karena tidak paham apa yang kami obrolkan. “aduh, bicara pakai bahasa planet lagi sudah”, seloroh mereka.
Setelah badan lumayan fit, saya diberikan penjelasan mengenai air terjun dwi warna Sibolangit. Aslinya biaya masuknya tidak terlalu mahal jika saya datang berombongan. Untuk rombongan 10 orang, hanya dikenai Rp 22.500 per orangnya. Tapi ini berbeda karena saya datang sendirian, dan ini kali pertama saya datang ke Sibolangit. Kalau sudah pernah sebelumnya, tanpa guide pun tidak masalah. Total biaya yang harus saya keluarkan Rp 180.000 sudah termasuk fee guide, administrasi, dan tiket masuk. Saya memutuskan mengambil guide karena medan yang memang kabarnya tidak mudah. Apalagi perjalanan ditempuh sejauh 3 jam. Sudah tentu tidak mungkin jalannya hanya 2-3 km saja.
Guide yang menemani saya kali ini adalah Mas Roy. Sebelum berangkat, saya membeli aqua 1500 ml dan menitipkan tas carier saya ke posko Ranger. Sementara kamera saya bawa. Tidak ada barang penting lainnya selain kamera di tas carrier saya. Jadi, seandainya pun ada yang mengobrak-abrik tas saya, ya sudah tentu malingnya yang bakalan rugi. Ada uang cadangan, tapi saya letakkan di tempat yang paling tersembunyi bahkan saya pun lupa naruhnya dimana dan baru ingat waktu sudah sampai di Jakarta
Tepat pukul 11.30 kami memulai perjalanan. Cuaca berawan mendukung perjalanan kami, ditambah hawa sejuk pegunungan Sibayak. Track yang akan kami tempuh sepanjang 7 km dengan medan menanjak curam dan turunan curam melewati hutan tropis yang khas.
Baru saja masuk hutan, saya sudah dibuat tercengang karena air sungai yang ada disitu benar-benar jernih dan menggoda untuk diminum. Memang kabarnya di daerah kaki gunung Sibayak ini banyak sekali sumber mata air. Bahkan Aqua Golden Missisipi pun memilih mata air di kaki gunung Sibayak untuk memenuhi supply air minum di daerah Sumatera Utara.
Salah satu air sungai di tepi trek
Perjalanan di 1 km pertama masih datar-datar saja. Sesekali melewati tanjakan yang tidak begitu tinggi. Jalurnya memang benar-benar berada di hutan tropis. Pepohonan sangat rapat sampai-sampai suasana di dalam hutan seperti sore. Padahal sempat beberapa kali matahari keluar dari persembunyiannya. Suasanya hutan sangat sepi, kadang beberapa kali nampak burung-burung beterbangan, ada pula beberapa ekor lutung yang melompat dari satu pohon ke pohon lain, kadang pula langkah kami diikuti beberapa ekor kera ekor panjang dari kejauhan. Beda dengan di Baluran, kera ekor panjang di hutan ini takut jika ada manusia lewat.
Sekitar 2 km dari pos Ranger, ada seorang penjaga yang memang standby di hutan dan menarik biaya bagi yang masuk menuju ke dua warna. Biayanya Rp 5.000 untuk 1 orang. Karena dengan guide, kami dihitung 2 orang.
Menembus hutan tropis
Setelah membayar, kami dipersilakan melanjutkan perjalanan. Ada rombongan 5 orang yang sudah naik lebih dahulu. Jalanan selanjutnya lebih didominasi tanjakan-tanjakan berat dengan jalan yang tertutup akar. Hutan kali ini lebih rapat. Cahaya matahari sukar menembus, dibuktikan dengan beberapa batang pohon yang berlumut. Burung-burung mulai jarang, tapi saya berkesempatan melihat Elang Brontok terbang dengan gagahnya di ngarai yang tidak jauh dari hutan. Jalan semakin tidak kelihatan karena banyak daun-daun tua yang berguguran. Bagi yang belum pernah kesini, memang sangat dianjurkan membawa guide. Karena selain jalannya medannya susah, jalannya juga tidak kelihatan. Syukur-syukur kalau jalan utamanya kelihatan lalu ada cabang-cabang, lha ini sudah jalan utamanya saja tidak kelihatan. Tapi bagi Anda yang berketerampilan khusus bisa membedakan mana jalur yang sering dilalui manusia dan mana jalur yang tidak pernah dilalui manusia, Anda bisa berjalan sendiri meskipun sebenarnya perbedaannya di hutan ini sangat tipis. Apalagi air terjun dua warna ini cukup jarang dikunjungi, meskipun sudah ditemukan sejak tahun 2006.
Kami menemukan beberapa kotoran binatang. Diantaranya kotoran kera ekor panjang yang bulat-bulat kecil seperti sisa biji-bijian dan kotoran babi hutan. Di sisi jalan juga beberapa kali ditemukan bekas galian babi hutan. 3 km menjelang air terjun, medan bertambah susah ditandai dengan tanjakan yang semakin tinggi diselingi kerikil dan batuan besar, pohon-pohon tumbang sehingga beberapa kali harus melompat dan merangkak, dan jalanan yang makin lama makin mepet tebing. Di bawah tebing, ada sungai berwarna biru kehijauan. Sungai itu merupakan sungai dari air terjun dua warna yang telah tercampur airnya dengan sumber mata air di kanan kiri sungai.
Bang Roy dan tanjakan yang dipenuhi akar-akar
Perjalanan memasuki 2 km terakhir ketika ada turunan dahsyat yang mirip menuruni tebing. Kecuramannya mencapai 80 derajat, hampir tegak. Ada tali bantuan yang memang sengaja dipasang Ranger Sibolangit. Perlu pegangan dengan akar dan tali agar tidak jatuh terperosok. Ya lumayan, ketinggiannya sekitar 50 meter. Setelah turunan curam ini, ada sungai. Kanan kiri sungai ini tebing yang curam. Jadi, bisa ditebak, perjalanan selanjutnya selama 1,5 km adalah menyusuri sungai yang penuh bebatuan. Mirip dengan jalan ke air terjun Kedung Kayang di Magelang sebenernya.
Air sungai berwarna biru kehijauan membelah batu-batuan besar yang tersusun alami menimbulkan kesan wingit. Apalagi hawanya dingin, kadang disertai kabut tipis-tipis ditemani rimbunnya hutan tropis. Mistis sekali. Sesekali perlu melompati batu-batuan kecil untuk menyeberang melewati bagian sungai yang dalam. Memang disarankan pakai sepatu gunung yang waterproof atau memakai sandal jepit. Jika kurang yakin terpeleset di batu, bisa tidak memakai alas kaki. Sepatu gunung yang saya pakai untungnya sudah waterproof, tapi ya tetap licin kalau lewat batu-batu. Jadi, perlu hati-hati.
Ada beberapa pohon tumbang di pinggir sungai ini. Jadi, perlu langkah yang ekstra lebar, kadang-kadang harus jalan sambil jongkok.
Melewati tepi sungai dengan bebatuannya yang licin dan berlumut
Beberapa meter dari air terjun, medan semakin mudah. Hanya terdiri dari tanah yang cukup datar dengan tebing di sisi kiri. Setelah ditemukan memoriam di pinggir tebing, berjalan sedikit, lalu terlihatlah pemandangan yang sangat waaaaahhhh: air terjun dua warna yang terdiri dari 2 air terjun utama dan 3 air terjun kecil-kecil. 1 air terjun utama dan 3 air terjun kecil-kecil mengalir ke kolam menghasilkan air yang berwarna biru muda, sedangkan 1 air terjun sisanya mengalir dari sisi yang berbeda dan menghasilkan air bening. Air biru muda ini mengandung belerang dan sangat dingin. Sedangkan air yang bening memiliki air yang lebih hangat jika dibanding air biru muda, padahal sama-sama mengalir dari Gunung Sibayak. Dan bisa ditebak, dari perkiraan perjalanan selama 3 jam, kami hanya membutuhkan waktu 2 jam lebih sedikit saja untuk tiba di air terjun.
Disana kebetulan ada rombongan yang sudah tiba lebih dahulu. Saya mengambil posisi wenak untuk foto-foto sana-sini. Ditempat ini memang ada memoriam. Dulu, tahun 2006 ada orang camping di tebing di atas air terjun. Karena kondisi kabut, sementara orang tersebut diminta mencari kayu bakar oleh teman-temannya. Orang itu hilang arah di dalam kabut, lalu jatuh terperosok dari tebing setinggi hampir 100 meter dan akhirnya meninggal di tempat.
Air terjun utama, ada 4 air terjun: 3 kecil dan 1 yang paling besar. Menghasilkan air berwarna kebiruan dan suhunya dingin sekaleee
Air terjun utama juga, terdiri dari 1 air terjun besar. Airnya dingin, tapi relatif lebih hangat daripada yang berwarna biru muda. Ini airnya bening.
Setelah puas foto-foto, saya menikmati suasana yang dingin-dingin mistis di air terjun dua warna ini. Saya tidak berani mandi karena airnya benar-benar dingin. Ditambah hawa dingin ketika itu.
Dwi Nugrahananto berpose di depan air terjun Dwi Warna :D
Sekitar 45 menit saya menikmati air terjun. Sementara rombongan yang sudah datang lebih dulu tadi sudah pergi 15 menit yang lalu. Saya dan Bang Roy memutuskan untuk kembali ke posko Ranger. Apalagi ketika itu sudah jam 3 sore. Saya akan meneruskan perjalanan ke Berastagi, jadi biar tidak kemalaman. Perjalanan pulang kali ini lebih cepat, hanya memakan waktu 1,5 jam. Sampai di pos Ranger, rombongan yang berangkat di depan kami tadi juga baru saja sampai dan baru saja beristirahat di gazebo belakang posko.
Sembari melepas lelah, saya ngobrol-ngobrol di pos Ranger. Berbagai tawaran muncul. Mulai dari muter-muter Medan sampai ke Bukit Lawang dan Bukittinggi, tawaran guide, sampai menginap di rumah singgah milik ranger Sibolangit. Tawaran yang sangat menarik sekali bagi seorang backpacker, apalagi Bukit Lawang dan Bukittinggi merupakan salah satu objek wisata unggulan internasional. Hati saya cukup goyah saat itu, apalagi tawaran guide dari Bang Tele Tabis dan menginap di rumah singgah ranger dan berkenalan dengan lebih banyak orang disana.
Akhirnya, karena pertimbangan waktu (saya hanya sampai tanggal 11 saja berada di Medan), maka saya memutuskan untuk kembali ke rencana awal: menginap di Berastagi untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Sipiso-piso-Pematang Siantar-Parapat-Samosir. Kebetulan juga tiket pesawat ke Jakarta sudah di tangan, dan itu tiket promo. Untuk merubah jadwal keberangkatan sama saja dengan beli tiket baru. Jika waktu saya berlimpah ruah dan tidak dibatasi oleh biaya, ya saya mau aja mengunjungi tempat-tempat tersebut. Apalagi setelah diceritai bahwa di Sabang dan Kutacane pemandangannya sangat oke sekali. Mungkin lain waktu saya bisa kesana lah. Mungkin bisa nanti kalau sudah lulus dan penggelaran dokter gigi ambil waktu 2-3 minggu buat jelajah Sumatera :D Tapi fokusnya setelah penggelaran pengen ke daerah timur Indonesia sih...
Berfoto bersama tim gabungan Ranger Sibolangit
Setelah berpamitan dan berfoto, saya diantar oleh Bang Roy untuk menuju ke Jl Jamin Ginting, jalan besar di bumi perkemahan Sibolangit yang menghubungkan Medan dengan Berastagi. Saya berjanji suatu waktu jika mampir ke Medan bakal mampir ke Sibolangit lagi. Semoga rekan-rekan Ranger yang ada di sana masih sama :D
Setelah sampai di jalan besar, sebuah bis Murni Ekspress tujuan Berastagi muncul dari tikungan. Saya segera pamit dengan Bang Roy dan segera naik ke bis tersebut. Satu pesan Bang Roy yang tidak saya lupakan: Kalau di Tanah Karo, jangan lupa mencoba BPK. Babi Panggang Karo. Belum ke Karo kalau belum coba BPK.
Pukul 17.30 saya sudah tiba di Berastagi. Hanya membayar Rp 4.000 saja. Sama dengan tarif bis kota di Surabaya. Saya bingung turun di mana. Pokoknya sampai di tengah kota, ada ramai-ramai dan ada orang turun, ya saya ikutan turun. Ternyata itu adalah pasar Berastagi. Saya kebingungan cari penginapan. Kabar dari beberapa kawan backpacker di internet, di deretan ruko-ruko itu ada hotel. Saya cari kanan kiri kok tidak ada, lalu saya menyusuri jalanan berastagi. Karena lelah, saya memutuskan singgah sejenak di Indomaret. Apalagi terakhir kali saya makan ya tadi pagi tadi di Soto Medan. Lalu setelah rasa lelah hilang, saya kembali berjalan mencari hotel dengan harga murah dan bersih. Sembari berjalan, ya sesekali lirik kiri lirik kanan. Cewek di Berastagi ini cantek-cantek. Putih-putih, bersih-bersih. Ah, apasih...lanjut jalan lagi....
Kata teman-teman dari Sibolangit tadi, di Berastagi ini banyak ‘awul-awul’ barang-barang hiking. Tas, sepatu, dan jaket branded sejenis Jack Wolfskin, Eiger, TNH, Deuter hanya dijual murah disini. Tapi masih belum cukup biaya untuk coba tawar menawar. Mungkin lain kali lah ya....
Akhirnya, pilihan saya jatuh ke Sibayak Guest House yang terletak di bagian paling ujung dari pusat kota Berastagi. Ada kamar seharga Rp 100.000 dengan 1 tempat tidur. Tapi kuncinya tidak ada -______- *niat bikin hotel gak sih* Akhirnya saya ambil yang harga Rp 250.000. Terlalu mahal, tapi bagaimana lagi. Daripada di hotel yang sudah saya kunjungi sebelumnya, RP 200.000 tapi kamarnya wingit banget -_____-
Kamarnya sangat luas. Kasurnya aja bisa dipakai orang 3. Lantainya kalau mau tidur pakai sleeping bag bisa dipakai buat tidur orang 4. Kamar mandinya juga lumayan, airnya juga bersih. Rata-rata yang menginap di tempat ini adalah backpacker lokal dan mancanegara. Dan usut punya usut, tempat ini sudah masuk ke TripAdvisor. Makanya yang mengisi kamar kok backpacker semua...
Begitu melepas sepatu dan cuci kaki, saya langsung tepar di kasur. Sampai lupa kalau belum makan. Saya terlelap sampai pukul 10 malam. Ketika membuka HP ternyata Bang Tele Tabis SMS. Saya meninggalkan nomer HP di posko Ranger Sibolangit tadi siang. Bang Tele Tabis menawarkan diri untuk menjadi guide saya selama di Berastagi dan Samosir mulai besok pagi. Awalnya saya menolak, karena saya belum tau karakter Bang Tabis sendiri. Bagi saya, cukup susah mengajak orang yang belum kita kenal seluruhnya untuk pergi bersama dengan ritme backpacker. Kalau-kalau ritme yang kita miliki tidak sama dengan ritme yang dimiliki partner kita, ini sudah beban tersendiri bagi yang mempunya ritme yang lebih tinggi. Kebetulan ritme yang saya miliki adalah ritme yang rendah, nggak bisa ‘ngoyo’ dan pengalaman juga masih sedikit. Tapi karena melalui negosiasi singkat, saya menyepakati Bang Tele Tabis menjadi partner saya dalam perjalanan. Toh kalau sewa guide di Medan sehari bisa lebih dari Rp 150.000, sementara saya hanya diminta menanggung biaya makan Bang Tabis aja. Mungkin tidak lebih dari Rp 300.000 karena 2 hari.
Kemudian saya terlelap kembali dalam buaian mimpi tidur saya karena hawa dingin yang menyelimuti Berastagi.
Komentar
Posting Komentar