8 Hari Mencari Jati Diri: Yuk Bermain di Genteng (Part 3)
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, tapi langit masih seperti pukul 05.30 di Yogyakarta. Saya bergegas bangun di pagi yang dingin dan menyuruh kakak untuk mandi. Sementara saya masih mau males-malesan di kasur. Kepala baru terasa pusing gara-gara asupan kolesterol tinggi. Tapi mau gimana lagi. Pagi itu saya memutuskan kembali berendam air panas. Biar fresh jalan-jalannya.
Setelah kami semua siap, kami segera turun ke loby hotel untuk sarapan. Barang bawaan sudah kami bawa agar tidak bolak-balik. Menu makan paginya lumayan untuk tarif hotel yang memang murah: cococrunch+susu creamer, sosis, nasi goreng, mie goreng, balado telur, roti panggang, jus jeruk, dan buah-buahan. Pokoknya, makan sak wareg e di tour ini karena semuanya gratis.
Pukul 08.30 kami sudah siap, dan kebetulan Mr Prakash sudah menunggu kami di depan sejak pukul 07.00. “Tidak masalah”, kata Beliau. Kata Beliau, rumah beliau berjarak 40 km dari Bukit Bintang, dan beliau berangkat pukul 06.00 agar bisa tiba disini tepat waktu. Karena kalau berangkat pukul 07.00, perjalanan sudah menjadi 2-3 jam karena jalanan macet. Kalau berangkat pagi, paling lama Cuma 1 jam. Tidak masalah bagi beliau harus menunggu. Pun begitu, beliau sudah terbiasa. Tidak tidur karena menjemput tamu ke Singapura pun juga biasa. Dalam setahun, Beliau hanya diberikan libur selama 15 hari oleh tour and travel. Tapi, libur 15 hari itu, beliau boleh minta tiket kemana saja dan bisa pergi kemana saja bersama istrinya sekaligus dapat uang saku sekitar Rp 9.000.000 (hotel, tiket, akomodasi sudah tour and travel yang menanggung). Mau minta ke Antartika juga boleh. Beliau sudah berkali-kali pergi ke Eropa, Jepang, Bali, Singapura, dan beberapa negara lainnya. Berat memang jadi driver wisata di Malaysia, tapi bonusnya boleh juga :D
Yaaakkk, tujuan kami hari ini adalah ke Genting Highland, atau Dataran Tinggi Genting. Bukan Genting yang ada di Banyuwangi atau ada di atas rumah ya, ini beneran Genting. Kondisi yang Genting :D
Dalam perjalanan, kami mampir beli bensin dulu. Sekedar info, mobil yang bertuliskan ‘Bas Persiaran’ mendapatkan BBM bersubsidi dari pemerintah dengan menukarkan kupon yang tersedia dan membayar di swalayan di dalam pom tersebut. Di Malaysia tidak ada Bensin dengan oktan 80, semuanya 92 keatas. Harganya pun juga murah, RM 2,1 per liternya (sekitar Rp 8.400,00). Jadi kawan-kawan, adalah HOAX klo pemerintah bilang harga BBM di Malaysia lebih mahal daripada di Indonesia. Di Indonesia, Pertamax oktan 92 aja harganya sudah lebih dari Rp 10.000, sementara Shell Super pun sekarang juga sudah di angka Rp 10.500. Pemerintah bandinginnya yang oktan 80 sama oktan 92 sih, nggak fair.
Sebelum ke Genting, kami mampir dulu ke Batu Cave. Apa itu Batu Cave? Batu Cave adalah sebuah gua batu yang merupakan tempat peribadatan bagi orang-orang Hindu India. Lokasinya berada di tengah-tengah tebing kapur dan memiliki ketinggian sekitar 75 meter dari lokasi di sekitarnya. Sebelum masuk ke Batu Cave, kami dimampirkan ke titipan tour and travel: pusat pembuatan peranti rumah tangga dari tembaga milik Kerajaan Malaysia dan Pusat Oleh-Oleh. Di pusat pembuatan peranti ini, memang benar gelas yang terbuat dari besi khusus tersebut dapat membuat air tetap kondisi dingin lemari es selama 1 jam. Tapi ya harganya itu yang bikin nggak minat beli -_____- (fyi: harga 1 set peralatan minum dari besi cukup buat saya makan selama 1 bulan di Surabaya)
Di pusat oleh-oleh, disini menjual berbagai jenis makanan. Mulai yang import dari Vietnam, Thailand, hingga yang benar-benar made in Malaysia. Yang khas disini adalah teh tarik siap seduh, yang memang rasanya sangat mirip dengan yang dijual di warung India semalam.
Selepas itu, kami langsung menuju ke Batu Cave. Ada banyak burung dara di pelataran. Mirip kaya FKG Unair yang pelihara banyak burung dara :D
Memberi makan burung dara di pelataran Batu Cave
Patung Budha di depan Batu Cave
Tangga naik ke Batu Cave yang lumayan tinggi
Pakdhe dan Budhe lagi-lagi memutuskan tidak ikut naik, karena tangganya yang sangat tinggi dan banyak. Kakak saya juga hampir memilih tidak naik. Tapi karena saya nekat naik, akhirnya saya dan kakak-kakak saya ikutan naik juga. Lumayan tinggi dan......bikin singunen (takut ketinggian).
Di dalamnya ada tempat ibadah umat Hindu India. Di dalam goa ini, memanjang goa berikutnya yang terdapat pintu terbuka di bagian atasnya. Mirip goa vertikal goa Jomblang di Gunung Kidul. Tapi pesonanya lebih bagus di Jomblang.
View dari atas Batu Cave
Tempat peribadatan
Mirip Goa Jomblang kan
Tempat peribadatan lagi di dalam
Ini juga tempat peribadatan
Patung apa saya tidak tau namanya, tapi memang Batu Cave ini adalah tempat ibadah orang India. Bahkan ada orang asli India yang merelakan waktunya berkunjung kesini
Burung dara dan Batu Cave
Setelah puas berada di atas dan setelah rasa lelah terbayar, kami bergerak turun. Sementara semuanya turun, saya iseng masuk ke Dark Cave yang posisinya lebih rendah daripada Batu Cave. Ternyata, di dalamnya aja jelajah goa dan membayar (sekitar MYR 30). Karena waktu yang mefet, apalagi masih harus ke Genting Highland, akhirnya saya mengurungkan niat itu. Setelah semuanya pulih, kami berangkat lagi menuju ke Genting Highland. Perjalanan dari sini sekitar 2,5 jam sampai ke pintu masuk Genting Highland.
Perjalanan lewat Jalan Lebuh Raya kali ini sangat menarik karena lewat medan pegunungan. Jalanan yang menikung dan menanjak tidak terlalu membuat mobil ngos-ngosan. Hawanya juga sejuk. Beda lah kalau dibandingin ketika lewat Alas Roban, Alas Gumitir, Alas Baluran, atau jalur di Purwokerto-Tegal dengan karakteristik tikungan tajam banget dan tanjakan yang lumayan bikin mobil ngos-ngosan. Lebuh Raya ini meskipun menikung, tapi cukup halus dan jalannya pun lebar. Untuk 4 mobil berjalan berjejer saja bisa.
Sebelum naik ke pintu gerbang, kami mampir dulu di sebuah toko coklat dan warung makan. Toko coklat ini menyediakan coklat yang enak-enak, tapi harganya lumayan mahal kalau dibandingkan dengan toko coklat di Singapura beberapa hari lalu (total sudah 3 toko coklat kami kunjungi dalam tour ini). Tapi Tiramisu Chocco Almondnya juara sekaleee rasanya. Sekitar MYR 30 untuk 1 kantong seberat 0,5 kg.
Makan di Genting Highland
Kemudian kami makan di sebuah warung di sebelah toko coklat ini. Prasmanan. Tapi menunya terkesan wenak dan menggiurkan. Karena Mr Prakash memerintahkan ‘bebas ambil’, maka saya langsung kalap: nasi sepiring penuh, kare kambing, sayur kangkung, telor balado, ayam goreng tepung paha, tempe goreng, dan minum es teh. Mungkin kalau peserta tournya kaya saya semua, bangkrut mungkin Mr Prakash -_____-
Setelah puas makan, kami melanjutkan perjalanan ke gerbang. Hanya sekitar 15 menit dengan suhu udara sekitar yang sangat sejuk, khas pegunungan. Kami tiba di central park Genting Highland, dan semua kendaraan diparkir disini. Sebenarnya bisa naik ke Genting pakai mobil, tapi akan lebih berkesan kalau pakai Kereta Gantung. Di stasiun kereta gantung ini, ada juga terminal bis yang mengantarkan pengunjung dari Genting Highland ke Kualalumpur, Putrajaya, KLIA, LCCT, dan beberapa tujuan lainnya. Bisnya pun bagus-bagus: pakai Scania K124iB, K360iB, K380iB, Hino RG1JSKA (klo di Indonesia jenisnya ini), dan Hino RK8 (ada yang kodenya RK1JSKA, mungkin ini adalah RG1JSKA versi Malaysia). Beberapa memang masih pakai Nissan RB, tapi jumlahnya sangat sedikit.
Harga tiket kereta gantung adalah sekitar MYR 24 untuk pulang pergi. Tiket sudah dibelikan oleh Mr Prakash dan kami tinggal naik saja. Perjalanan dengan menggunakan kereta gantung ini ke Genting Highland adalah sekitar 30 menit, melintasi ketinggian yang berbeda: antara 20 meter-150 meter. Ini yang tidak kuat ketinggian Cuma bakal teriak-teriak doang. Dan ngerinya, di bawah dan di sekitar kereta gantung, sama sekali tidak ada rumah. Hanya hutan tropis dan jalan inspeksi kecil saja. Jadi yaaaa kalau jatuh yaaaa lumayan....
Ketika baru saja berangkat
Sudah sampai tengah-tengah
Mendekati Genting
Perjalanan selama 30 menit kami lalui dengan was-was dan sedikit singunen. Kami tiba di Hotel Maxims, tapi kami memang tidak menginap disini dan hanya bertujuan numpang dolan saja (tau lah nginep di Genting mahal juga).
Kami bingung karena petunjuk yang ada minim. Objek apa saja yang harus dikunjungi pun juga informasinya sangat minim. Kami berjalan tak tentu arah, pokoknya titik temunya untuk pulang ada di Maxims. Kami berjalan melewati pusat game. Ada Casino sebenarnya, dan untuk masuk Casino harus menggunakan hem, celana yang pantas, dan sepatu. Dan sudah tentu uang yang banyak. Kami terus bergerak turun ke Theme Park. Katanya akan dibangun Theme Park Outdoor yang baru akan selesai pada tahun 2016. Sayang sekali tinggal theme park indoor. Tiket masuk ke Theme Park Indoor pun juga murah, hanya MYR 30 (sekitar Rp 120.000,00) sudah tersedia lebih dari 40 wahana permainan dan lebih dari 75 jenis game seperti di timezone. Hmmm, cukup menggiurkan. Tapi sekali lagi, waktunya Cuma tersisa 2 jam, dan juga agak tidak mungkin mengajak pakdhe dan budhe bermain berkejar-kejaran dengan waktu. Dengan sedikit kecewa karena tidak ada hal lain yang bisa dinikmati selain permainan, kami kembali ke Maxim dan bersiap untuk kembali ke stasiun kereta gantung.
Kabut membuat perjalanan kami dengan kereta gantung lebih mengerikan: menembus kabut, tiba-tiba sudah ada di ketinggian yang sangat tinggi sekali. Beberapa kali kereta gantung juga harus terhenti karena naik-turun penumpang yang memang padat sore itu. Membuat singunen jadi lebih singunen.
Menembus kabut yang tebal
Masih akan menembus kabut
Kami tiba di stasiun pemberangkatan dan kami bergegas menelpon Mr Prakash karena tour kami jadi lebih singkat. Mr Prakash pun menanyakan kenapa kok cepat, apakah tidak menarik? Dan kami menjawab karena kami sudah menjelajahi semua dan rasanya waktu terlalu singkat kalau mengambil tiket terusan untuk wahana di Theme Park *saran buat yang mau ke Genting, sisakan waktu seharian. Tempat ini mirip Universal Studio, Trans Studio, Dufan, tapi hawanya lebih sejuk*
Terminal Bas Persiaran Genting Highland-Kualalumpur
Salah satu bis yg menjalankan rute Trans Genting Highland: Scania Irizar (nggak tau asli Irizar atau nggak)
Mr Prakash memutuskan untuk mengantar kami ke hotel karena waktu masih terlalu sore. Waktu itu, sekitar pukul 16.00. Kami pukul 18.00 sudah tiba di hotel. Berhubung waktu makan masih lumayan jauh, dan berhubung kami akan berganti guide karena Mr Prakash akan kembali menjemput tamu ke Singapura besok pagi (dan harus mulai perjalanan malam itu juga), maka uang makan dari tour and travel sebesar MYR 110 dikembalikan kepada kami. Ini artinya malam ini kami bebas menentukan makan malam kami.
Setiba di hotel, kami bersepakat beristirahat sebentar lalu kemudian berangkat lagi cari makan. Rencananya, malam ini kami akan mencoba Monorel dan mencari makan di daerah KL Sentral. KL Sentral adalah sebuah sentra transportasi yang terintegrasi: ada stasiun Monorel ke segala tujuan, stasiun kereta api (kereta ke Thailand (Hat Yai-Bangkok) dan Singapura berangkat dari sini), dan stasiun bis (Singapura, Butterworth, Alor Star, KLIA, LCCT, Hat Yai, Bangkok)).
Kami keluar dari hotel pukul 19.00, dan kami terkejut karena suasana Bukit Bintang malam itu sangat ramai sekali. Ada 18 ekor babi panggan tertata di sebuah tenda, lengkap dengan panggung yang ada alat bandnya, tenda khusus bagi pengunjung muslim, dan berbagai pernak-pernik pesta. Rupanya ada pesta khusus setelah Imlek (mungkin kalau di Indonesia disebut sebagai Cap Go Meh, tapi saya kurang tahu namanya apa disana). Meriah sekali pokoknya. Kami berjalan melintasi sentra seafood dan chinnesse food. Bagi kami, makanan itu ada banyak di Indonesia. Jadi tidak perlu beli di Malaysia untuk mencicipinya.
18 babi panggang terparkir rapi di jalanan Bukit Bintang
Kami kemudian bergerak ke Monorel dan membeli tiket monorel. Sangat murah sekali, karena hanya berkisar MYR 3 untuk sekali jalan. Kami mengambil tujuan ke KL Sentral. Monorel malam itu sangat ramai sekali. Kami sedikit waspada karena kultur di Malaysia dan Singapura beda: masih ada beberapa pencopet di Monorel Malaysia.
Berbeda dengan Singapura, kami perlu waktu sekitar 10 menit untuk menunggu Monorel datang. Jika di Singapura, kami hanya perlu menunggu maksimal 4 menit untuk MRT selanjutnya. Perjalanan ke KL Sentral hanya memakan waktu sekitar 25 menit. Kami melewati beberapa stasiun, diantaranya Tun Sambanthan yang merupakan sebuah daerah.
Situasi di dalam Monorel Kualalumpur
Setibanya di stasiun Monorel KLSentral, kami turun dan segera berjalan ke sekitar KL Sentral. Mirip dengan di Indonesia: ada bis besar ngetem sembarangan, daerah yang kurang tertata karena masih pembangunan, sebagian terkesan sepi dan spooky. Ada sebuah warung India di depan KL Sentral dan warung nampaknya cukup ramai. Kami pun memasukinya dan segera memesan: Nasi Beriyani Domba 3 porsi, Nasi Beriyani Ayam 3 porsi, teh tarik es 2, teh tarik panas 1, teh biasa 2, dan teh Madras 1. Seperti sudah saya yakini sebelumnya bahwa menu India pasti rempah-rempahnya sangat kental sekali dan saya sudah bersiap. Kakak sepupu saya sudah tahu, hanya pakdhe dan budhe memang belum tahu dan ingin merasakan.
Begitu tiba pesanan kami, langsung kami lahap nasi beriyani dengan beras panjang yang khas ini bersama kari kambing dan saos mayones khusus ini. Rasanya di dalam mulut kemranyas sekali: seperti mengunyah bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, tomat, kecap, merica, cabe, saos, nasi, dan daging kambing di dalam mulut. Muantab sekali sampai kepala ini kembali senut-senut karena rempah-rempah yang terlalu menusuk. Sementara saya dan kakak-kakak saya memakan dengan lahap, sebagian sudah tidak kuat dengan rempahnya dan tidak menghabiskan makanan. Wajar lah, di Indonesia makanan tidak semenusuk ini rempahnya.
Nasi Beriyani Mutton dan Madras Tea
Yang khas ini nih, nasinya panjang-panjang
Setelah selesai makan dahsyat ini, kami memutuskan kembali ke Bukit Bintang dengan monorel. Kali ini monorel cukup sepi dan kami memperoleh tempat duduk. Kami menunggu tidak terlalu lama dan perjalanan pun lebih cepat karena pak sopir lagi sedikit ngebut.
Setibanya di Bukit Bintang, kami kembali berjalan menuju ke arah hotel. Rupanya, di jalan dekat hotel sedang ada Barongsai. Saat itu, tim Barongsai sedang mempersiapkan. Kami bersiap di barisan paling depan untuk menonton. Persiapannya cukup lama, sekitar 45 menit baru pertunjukan Barongsai dimulai. Tidak sekedar pertunjukan saja, tapi disertai seremonial yang khas: ada altar dengan berbagai persembahan, petasan yang luar biasa banyaknya, dan jeruk-jeruk ponkam yang luar biasa juga jumlahnya di dalam kardus. Barongsainya sendiri kurang memukau jika dibandingkan dengan atraksinya di Indonesia. Namun, seremonialnya itu yang membuat terkesan. Di akhir pertunjukan, ada juga banyak kembangapi diluncurkan (4 kardus) dan banyak sekali buah jeruk ponkam dilemparkan dari Barongsai ke masing-masing penonton. Bahkan mobil dan motor yang lewat pun ada yang kena lempar. Masing-masing penonton mendapatkan minimal jeruk 1 buah.
Nonton Baronsai sambil makan siomai
Kembang api melambung rendah
Sekardus kembang api di tengah jalan
Barongsai Beraksi
Tak kehilangan moment. Sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia, berasal dari daerah Timur Tengah, tetap dengan setia saling menemani meskipun sang istri berada dalam keterbatasan fisik
Setelah lelah menonton, kami kembali ke hotel. Tapi, saya dan kakak-kakak saya mampir ke kakilima pojokan yang menawarkan berbagai barang. Dari sini saya berhasil menawar secara sadis sebuah kacamata Rayban aspal dengan kualitas mirip asli. Awalnya sih Cuma pengen liat-liat. Pedagang menawarkan seharga MYR 80. Gila aja beli harga segitu tambah dikit udah dapet yang ori. Saya pergi begitu saja, sementara si penjual masih berkata-kata pakai Bahasa Malaysia menawarkan ke saya. Saya Cuma diam dan tiba-tiba penjual menawarkan harga sangat miring ke saya: MYR 15. Hanya sekitar Rp 60.000,00. Saya ingat betul teman saya dapat model yang sejenis di Singapura seharga 10 dolar (artinya dia dapat harga sekitar Rp 90.000). Karena kasihan dan harga yang sangat drop, maka saya ambil barang tersebut dan saya pastikan semuanya sama dengan yang ia tawarkan tadi. Setelah dipastikan tidak ada tipu-tipu, maka transaksi saya lakukan. Menguntungkan sekali beli disini.....
Setelah selesai beli-beli, saya kembali ke hotel untuk segera istirahat karena malam ini adalah malam terakhir bagi saya di Malaysia sebelum besok paginya saya harus terbang ke Medan dan memulai cerita baru disana.
Meskipun mirip dengan Indonesia, tapi Malaysia ini setidaknya jauh lebih tertib. Mobil parkir di lokasi drop saja (tidak lebih dari 5 menit) langsung diderek oleh DBKL (semacam Satpol PPnya Malaysia) dengan mobil derek. Tidak ada alasan dari pengemudinya, mobil langsung diderek ke kantor DBKL dan semuanya diselesaikan disana. Mobil parkir sembarangan pun, jika masih ada sopirnya, hanya dipotret dengan alat tertentu, dicatat nomor polisinya oleh polisi setempat, maka sopirnya tinggal mengurus ke kantor polisi terdekat. Tidak ada sogok-sogokan, minta bayar ditempat, atau menyuap pakai uang receh. Namun, bedanya, perseteruan antar ras di Malaysia sepertinya sudah sampai muncul ke permukaan. Kalau di Indonesia hanya sebatas ‘rasan-rasan’ atau main belakang. Ketika proses Barongsai dimulai, kebanyakan warga Chinnesse berkumpul disitu. Jika ada pengendara berwajah India atau Melayu kurang senang (karena memang Barongsai sempat menimbulkan kepadatan lalulintas dan kemacetan, namun sudah diatur oleh pulis), maka mereka akan menyalakan klakson keras-keras atau main ‘bleyer’ seolah-olah mereka menang sendiri. Meskipun demikian, warga Chinnesse dan penonton dari berbagai negri yang ada disana bisa cukup sabar dan tetap tenang. Yang tidak tenang malah saya dan kakak-kakak saya, pengemudinya kita liatin dengan pandangan mecicil :D
Komentar
Posting Komentar