8 Hari Mencari Jati Diri: The Trip Start From Jogjakarta (Part 1)

Kenapa trip ini harus saya namakan ‘8 Hari Mencari Jati Diri’?? Entahlah, saya juga nggak tau. Pokoknya kepikiran kata-kata ini, dan jadilah tulisan :D Trip ini akan dibagi menjadi 2 bagian besar perjalanan: Jogja-Singapura-Melaka-Kualalumpur dengan peserta saya sendiri, kakak saya, dan keluarga budhe saya sebanyak 4 orang yang ditangani oleh Mitra Jalan-Jalan Tour and Travel Yogyakarta dan Kualalumpur-Medan-Sibolangit-Berastagi-Samosir-Medan-Jakarta-Jogjakarta dengan peserta perjalanan.....saya sendiri. 

 Jogjakarta, 5 Februari 2014. Masih sangat pagi, tapi tidak terlalu dingin. Pukul 03.00 saya sudah terbangun karena dibangunkan Bapak yang bangun lebih duluan. Yak benar, hari ini adalah hari pertama saya akan ngetrip selama 8 hari kedepan. Bukan trip yang pendek, bukan lagi trip Anyer-Panarukan yang pernah saya lakukan dulu kelas 2 SMA. Tapi, sekarang trip yang sangat jauh, membentang lebih dari 2000 km dari Jogjakarta. Kali ini rute saya adalah Jogjakarta-Singapura-Melaka (Malaysia)-Kualalumpur-Medan-Sibolangit-Berastagi-Samosir-Medan-Jakarta-Jogjakarta. Trip ini lebih pendek daripada yang sebelumnya pernah saya rencanakan: Jogjakarta-Kualalumpur-Singapura-Batam-Medan-Berastagi-Samosir-Medan-Palembang-Lampung (Metro)-Cilegon-Semarang-Jogja. Semoga lain waktu bisa coba track ini, sekalian bisa main ke Bukit Lawang di TNGL (yang katanya surga backpacker dari segala negara) dan sekalian main ke Bukit Tinggi sampai ke Padang. Total rute yang saya tempuh kali ini sekitar 5000 km, tapi sebagian besar transportasinya pakai pesawat sih ya.

Pukul 04.00 saya sudah dipaksa siap dan sedikit mangkel karena flightnya masih pukul 07.15 tapi jam 04.00 sudah disuruh berangkat. Toh ya imigrasinya tidak sesulit yang diperkirakan. Bawaan saya Cuma 1 buah tas carrier yang hanya berisi baju-baju selama perjalanan dan kamera lengkap dengan tasnya. 

Perjalanan dari rumah ke Bandara tidak terlampau lama. Cuma sekitar 15 menit saja karena ringroad masih lengang, jalanan masih lengang. Kalau berangkat jam 7 pagi, bisa dipastikan perjalanan rumah ke Bandara Adisutjipto sekitar 30-45 menit. Sampai di bandara, bapak yang menjemput keluarga budhe sudah tiba di bandara. Kebetulan bapak dan ibu tidak ikut dalam trip ini. Pastinya karena pekerjaan yang lumayan menumpuk, dan tentunya karena bapak kena cekal tidak boleh masuk Singapura selama 10 tahun gara-gara marah-marahin petugas imigrasi Singapura (antimainstream sekali bapak ini -_____-)

Kami masih asyik ngobrol di depan pintu keberangkatan domestik. Cukup ramai bandara pagi itu. Mungkin karena ini hari libur perkuliahan, jadi lumayan banyak juga anak-anak muda seusia mahasiswa yang memanfaatkan bandara pagi itu. Barang bawaan kami tidak banyak, Cuma tas carrier 1 buah, tas punggung 2 buah, dan koper sedang 2 buah juga. Bawaan tangan kami yang lumayan banyak: donat, aqua, makanan ringan, dll dll yang mirip kaya orang mau pindahan.

Pukul 06.00, tepat setelah Kereta Kahuripan Bandung-Kediri melintas di depan Bandara, kami segera masuk ke keberangkatan internasional. Tidak terlalu ramai karena memang keberangkatan internasional paling pagi hanya ada AirAsia tujuan Singapura. Seperti biasa, kami masuk secara bergantian di imigrasi. Sekedar info, yang pernah ke luar negri dari rombongan kami hanya kakak saya saja. Sementara saya dan keluarga budhe saya sama sekali belum pernah ke luar negri. Selesai cek imigrasi, giliran barang bawaan kami di cek oleh petugas bandara. Seperti dugaan saya, aqua pasti kena cek dan tidak boleh dibawa. Dan ternyata benar, 6 botol aqua kami kena cekal (karena batasan masuk kabin Cuma 100 ml ya?). Akhirnya kami berenam ramai-ramai minum aqua 600 ml di depan petugas sampai aqua hampir habis. “Biar nggak dijual lagi”, pikir kami.

Sembari kami ‘leyeh-leyeh’ menunggu pesawat siap, kami makan makanan yang sudah dibawa dari rumah. Sekedar untuk sarapan ringan biar nggak lapar sekali di perjalanan.

Pukul 07.15 kami dipersilakan masuk ke pesawat AirAsia Airbus A320. Rupanya perjalanan delay sekitar 15 menit. Penumpang tidak full, tersisa beberapa kursi di bagian belakang pesawat. Kebetulan rombongan saya mendapat kursi nomor 22 A-F. Take off seperti biasanya di landasan pacu yang pendek di bandara jogjakarta ini: mesin segera dipacu dan take off yang sudah pasti tidak halus terlalu menyentak. Perjalanan kali ini (kabarnya) memerlukan waktu selama 2,5 jam. Tidak ada yang menarik, apalagi memang pesawat terbang pada ketinggian yang cukup tinggi. Cuma terlihat awan di kanan kiri. Beberapa kali pesawat harus terguncang karena memang cuaca pagi itu di beberapa daerah kurang baik. 

Hampir pukul 10 pagi. Pesawat mulai menurunkan ketinggiannya dan mulai nampak pulau-pulau di kanan kiri. Ada yang menduga-duga bahwa itu batam, ada yang menduga-duga deretan pulau yang besar dan memanjang adalah Sumatera, ada yang menduga-duga dua pulau kecil yang bersebelahan agak jauh adalah Batam dan Singapura. Yang jelas, ini artinya pesawat kami akan segera turun di Bandara Changi Singapura.
Pukul 09.40 kami sudah landing dengan halus dan selamat di Bandara Changi. Tidak seperti kalau mendarat di Bandara Internasional Lombok (BIL) atau di Bandara Internasional Adisutjipto yang bangunannya tidak jelas mana bandaranya, di Changi ini begitu akan landing langsung terlihat deretan bangunan besar-besar menjulang, lengkap dengan banyak pesawat terparkir rapi. Kalau dilihat sekilas, bandara ini sangat besar dan sangat rapi, meskipun jujur landasannya kok rasa-rasanya masih lebih halus di Soekarno-Hatta. Proses perjalanan dari landasan pacu ke tempat penurunan penumpang (apalah itu namanya) lumayan jauh. Memakan waktu hampir 10 menit. Yang jelas pesawatnya muter-muter dulu di Bandara.

Begitu pesawat berhenti dan lampu mengenakan sabuk pengaman sudah dimatikan, kami segera berdiri dan segera mengambil barang bawaan kami. Cuaca Singapura siang itu cukup panas meskipun tertutupi awan. Waktu Singapura sudah menunjukkan pukul 11.00. Kami bergegas keluar lewar garbarata di pintu depan. Suasana Bandara Changi lebih dingin daripada pesawat yang kami tumpangi. Pun juga bandaranya sangat bersih. Sangat beda sekali kalau dibandingkan pertama kali turun dari Bandara Soekarno Hatta, apalagi yang terminal 1 kesannya spooky sekali. Hampir mirip-mirip dengan kalau turun di Bandara Juanda atau Bandara Internasional Lombok lah. Cuma bedanya mereka lebih kecil.

Begitu masuk ke bangunan utama, pikiran pertama saya pasti kami akan bingung, sama seperti di Bandara di Indonesia yang minim petunjuk. Tenyata, begitu masuk ke ruang utama, petunjuk langsung sudah sangat jelas dan selalu ada setiap beberapa meter sekali. Lantai bandara pun sangat empuk dan wangi karena dilapisi dengan karpet tebal. Travelator juga ada dan memanjang di hampir sebagian ruang tunggu. Benar-benar first impression yang baik. Bandara yang baik dalam pengelolaannya sebagai pintu masuk dari sebuah negara, tentu akan menunjukkan pula bahwa negara tersebut juga baik dalam pengelolaannya.

Ada satu hal yang berbeda: orang-orang di sekitar berjalan dengan cepat dan bertujuan. Berbeda sekali jika di Indonesia, beberapa jalan lambat, beberapa ada yang foto-foto dulu. Bandara yang sangat teratur, cukup lengang, dan menyenangkan menurut saya.

Langkah selanjutnya adalah Imigrasi Singapura. Katanya kakak saya sih, imigrasinya lumayan ketat. Jadi saya cukup berhati-hati. Bagian imigrasi cukup lengang, tanpa antrian. Sangat berbeda kalau dibandingkan dengan di Adisutjipto tadi pagi yang penuh dengan antrian. Kali ini petugasnya bernama Nurul Jannah. Hmmm cantik sih ukuran saya. Tapi ya yang namanya petugas imigrasi mana sih yang nggak judes -_____-
Imigrasi tidak memakan waktu lama, hanya stempel dan mengecek kartu kecil yang diberikan pihak tour and travel. Setelah imigrasi, kami langsung menuju ke toilet. Biasa, menandai wilayah kekuasaan dulu...
Sementara yang lain ke toilet, saya mencoba air minum gratis dulu. Kalau di SMA, namanya mimik ndangak. Dulu di SMP juga ada alat ini, katanya beli langsung dari Belanda. Tapi rasanya tidak sesegar dan seenak yang ada di Bandara Changi. Di depan Gedung Managemen Unair katanya juga ada sih, tapi saya belum pernah coba. Kalau disini sih katanya dilarang minum sambil meludah. Kenapa kok dilarang meludah? Tahukah Anda bahwa air ludah sendiri merupakan agen penyebaran penyakit yang cukup efektif? Tahukah Anda bahwa air minum tersebut adalah sarana umum dan dipakai oleh banyak orang? Bagaimana jadinya kalau setiap orang yang minum di tempat tersebut kemudian meludah? Tentu air minum gratis ini bukan jadi sumber kesehatan dan kesegaran, yang ada malah jadi sumber penyakit.

Setelah masing-masing selesai menjalankan hajatnya, kami bergegas menuju ke tempat pengambilan bagasi, tetap dengan mengikuti petunjuk yang ada. Nggak lucu kalau sampai tersesat di bandara yang sebesar ini.
Slot pengambilan bagasi cukup banyak, tapi informasi cukup jelas sehingga kami tidak perlu bingung dalam pengambilan bagasi. Apalagi flight yang tiba saat itu tidak hanya flight kami saja.

Setelah barang bawaan lengkap, kami bergegas ke pintu keluar dan mencari driver yang menjemput kami. Tak sampai 5 menit kami menemukan driver kami dan driver kami segera menghantar kami ke parkiran. Beliau bernama Mr Muralli, bagian dari tour and travel yang menangani kami. 
Salah satu sudut terminal Bandara Changi Singapura. Sambutan selamat datang yang bagus dan rapi dari Singapura

Parkiran di terminal kedatangan kami teramat sangat rapi. Tidak ada kendaraan yang antri panjang menurunkan-menaikkan penumpang. Tempat tunggunya pun sangat panjang membentang, jadi kendaran tidak perlu menunggu satu-satu kalau menaikkan penumpang. Mobil yang ada pun juga terbatas, paling banyak jenis van yang ada logo tour and travel tertentu dan bertulisan ‘Bas Persiaran’ (lebih kurang artinya bis pariwisata). Mobil pribadi sesekali melintas, dan bukan Cuma toyota kelas avanza, tapi rata-rata sudah pakai camry, mercedes-benz, volvo, dlsb.

Bas Persiaran kami sudah tiba. Ternyata menggunakan Toyota Hi-Ace automatic keluaran terbaru. Cukup jarang di Indonesia, beberapa yang saya lihat hanya Shuttle Bis Efisiensi yang sudah memakai Hi-Ace. Lebih banyak menggunakan Isuzu ELF kalau di Indonesia. Selain harganya lebih murah, katanya juga lebih bandel karena pakai solar. 
Sekilas Jalanan Singapura

Perjalanan keluar dari bandara memakan waktu cukup lama, sekitar 10 menit dengan kondisi jalanan yang sepi, lancar, dan lebar. Ini artinya memang bandaranya besar sekali. Sudah tentu besar sekali karena antar terminal dihubungkan dengan monorel. Bandara seciamik ini katanya masih kalah dengan Bandara Incheon di Korea Selatan. Padahal menurut saya, Changi ini sudah sangat lebih baik dan terbaik jika dibandingkan dengan semua bandara yang pernah saya kunjungi (di Indonesia sih).

Begitu keluar bandara, kami langsung dihadapkan dengan jalan besar yang katanya sih tol. Semua jalan di Singapura ini menggunakan sistem Electronic Road Pricing (ERP) yang menjamin pembayaran tol secara otomatis dari kartu yang ada di mobil Anda. Jadi, tidak perlu antri di pintu tol yang bikin macet lagi. Jalan yang besar ini katanya sih biasanya jadi landasan pacu darurat jika ada acara kemiliteran atau jika ada keperluan militer darurat. Tanaman yang ada di tengah jalan sebagai pembatas jalan kabarnya bisa dipindahkan.

Satu lagi yang berbeda disini adalah lajur kanan yang selalu kosong. Hanya sesekali kendaraan menyelip kendaraan depannya, lalu kemudian masuk kiri lagi. Ya benar, disini kendaraan menggunakan lajur kanan hanya untuk menyelip. Di jalan ini, ada 4 lajur: lajur paling kiri dan kedua dari kiri biasanya diisi truk dan bus, Lajur tengah diisi oleh mobil pribadi yang melaju lumayan kencang dan biasanya jarang kendaraan jalan pelan-pelan sekali di lajur ini, sementara lajur paling kanan hanya digunakan untuk menyelip. Hampir sama sih di Indonesia sebenarnya peraturannya. Bedanya Cuma ada di tingkat ketaatannya aja. Di Indonesia sih semua kendaraan pribadi, mau pelan atau udah merasa kenceng ya tetep di lajur kanan (hayoo, sudahkan Anda pengguna tol menaati peraturan yang berlaku?). Di Singapura, Anda mau berjalan 200 km/jam pun (tapi biasanya yang jalan terlalu ngebut langsung kena pelanggaran, direkan nomer mobilnya lewat kamera), tapi Anda tidak sedang dalam keadaan menyelip, ya tetap jalan di lajur kedua dari kanan. Truk-truk disini pun adalah truk-truk yang ‘nggenah’ dan jarang ada truk yang jalannya pelan-pelan. Rata-rata truk disini berjalan pada kecepatan 60-70 km/jam. Di tol Porong-Surabaya, rata-rata truk hanya berjalan pada kecepatan 30-50 km/jam.
Terowongan Bawah Laut, baru Desember 2013 dibuka untuk umum

Beberapa menit setelah Bandara, kami diajak untuk melewati sebuah jalan bawah laut, yang kabarnya baru Desember 2013 kemarin diresmikan. Terowongan bawah laut ini kabarnya memiliki panjang sekitar 3 km dengan total ada sekitar 5 lajur untuk 1 arah (total ada 10 lajur untuk 2 arah). Sangat luas, penerangan, dan petunjuk sangat jelas. Pertanyaannya, Mampukah Indonesia membuat seperti ini? MAMPU jawaban saya. Cuma untuk apa? Singapura membangun demikian ini karena memang lahan yang sudah semakin minim. Sementara saat ini biaya reklamasi juga tidak murah, lebih murah membangun terowongan bawah laut. Indonesia sih tanahnya masih tersisa banyak sekali. Tinggal mengoptimalkan potensi yang masih sangat banyak yang belum teroptimalkan karena negara yang terlalu banyak mengurusi hal-hal kecil yang seharusnya tidak diurusi negara sebenarnya :D
Orang boleh merokok di Singapura, tapi hanya di samping tong sampah. Efektif sekali dan sangat menjamin hak semua orang. Yang merokok paham, yang tidak merokok pun juga paham. Nggak kayak di....ah sudahlah...

Selang tidak beberapa lama, kami mampir ke sebuah toko coklat (yang sepertinya memang titipan dari pihak tour and travel). Tidak ada yang menarik dari toko coklat ini. Semuanya isinya coklat. Saya hanya membeli minuman favorit saya saja: Minuman Coklat 365. Memang rasanya enak dan tidak bikin eneg. Tiap ada keluarga yang ke Singapura, saya pasti titip minuman coklat ini. Rasanya hampir mirip Cadbury yang dijual di CircleK, harganya sama, tapi mendapatkan rasa yang jauh lebih enak daripada sekedar Cadbury. 
Kapal Temangsang dan Pohon Kelapa Tertinggi

Merlion, The Singo Mangap

Berfoto di Merlion, bagusan dari seberang sih

Bangunan Mirip Nanas, Namanya Lupa -____-

Setelah beli coklat, kami melanjutkan perjalanan ke Merlion, patung singa yang katanya iconnya Singapura. Saya pikir tempatnya cukup menarik, seperti di Monas yang dikelilingi taman-taman sehingga bisa cukup untuk bersantai. Kami tiba di lokasi dan waktu kami hanya 15 menit. Begitu turun, bayangan saya langsung hancur berantakan yang ternyata Merlion sebagai icon Singapura hanya berada di dekat sebuah jembatan layang yang membentang di pinggir sungai. Pun juga sekitarnya hanya beton dengan sebuah kafe Starbuck (atau apa saya lupa) yang kurang enak kalau dibuat beristirahat. Cuaca saat itu pun sedang panas dan matahari bersinar cukup terik. Di sekitar Merlion hanya terdapat wisata air dengan menggunakan perahu (karena waktu yang mepet, saya tidak mencoba naik perahu) dan diseberangnya terdapat Singapore Flyer yang merupakan bianglala yang terbesar se-Asia Tenggara dengan tarif lebih dari Rp 300.000 untuk menaikinya. Selain itu, terdapat 3 gedung yang diatasnya ada kapal nyangkut (entah apa maksudnya gedung ini, tidak ada guide yang menjelaskan). Sungai di sekitar Merlion pun berwarna hijau keabu-abuan, mirip sungai yang ada di samping Monkasel Surabaya. Menurut saya, kok “luwih apik-apiko Indonesia” (lebih bagus punya Indonesia) jika dibandingkan Singapura ini. Hanya memang kalau di Singapura, bangunan-bangunannya jauh lebih bisa ‘dilihat’ jika di bandingkan dengan Indonesia. Struktur beton jembatannya pun juga bagus, halus, dan tidak membosankan jika dilihat. Kalau di Indonesia kan komponen beton dibiarkan kaya gitu aja, sisa-sisa garis-garis papan masih kelihatan, kadang ada beberapa yang sudah lumutan. Penataan bangunannya boleh dibilang juara lah Singapura ini. Maklum, sebuah negara dengan luas pulau yang kecil, maka pemanfaatan ruangnya pun juga harus super duper baik dan tertata.

Konstruksi Jembatan yang Enak Dilihat
Salah satu Jembatan di Singapura

Setelah dari Merlion, kami beranjak untuk makan siang. Sudah pukul 13.30 dan rasa lapar kami sudah memuncak. Kami makan di ‘Kublai Khan’ International Mongolian Resto. Sejenis chinnese food gitu lah. Hanya memang makanannya tidak terlalu menarik. Hanya mie kwetiauw, Mongolian salad, nasi putih, sosis sapi, roti, dan lain sebagainya. Rasanya pun tidak terlalu menarik dan biasa-biasa saja. Masih enakan Mie Jakarta Pasar Baru di depan Pasar Kranggan Jogja :D
Kublai Khan Mongolian BBQ bla bla bla bla

Perjalanan selanjutnya adalah kembali keliling-keliling Singapura. Sekadar info, trip ini kami tidak mampir ke Universal Studio Singapura karena biaya yang cukup mahal (jatuhnya per orang sekitar Rp 750.000) selain itu karena ngajak orang tua juga, apalagi budhe dan pakdhe saya ini usianya sudah hampir kepala 7. Kami juga tidak mampir ke Pulau Sentosa, yang kabarnya sudah menjadi casino terbesar se-Asia Tenggara dan pusat hiburan di Singapura. Mungkin lain waktu bisa lah mampir kesana kalau rombongannya muda-muda dan masih seger-seger :D

Trip kami berlanjut ke Chinatown, Orchard Road, dan Little India. Tidak ada yang menarik karena chinatown banyak berisi perkantoran yang menjulang cukup tinggi dengan diselingi beberapa warung yang ramai pegawai karena memang sedang waktu istirahat. Selebihnya hanya ada beberapa taman kecil di antara bangunan-bangunan tinggi. 
Salah Satu Sudut Chinatown

Ketika kami mengunjungi Orchard Road, saya baru ngeh kalau ternyata RS Mount Elizabeth yang terkenal di Indonesia ini berada sangat dekat dengan Orchard Road. Nggak habis pikir, untuk apa sebenernya jauh-jauh berobat ke luar negri kalau di dalam negri saja ada alatnya dan fasilitasnya. Orchard Road ini terkenal dengan toko-toko yang menjual barang-barang branded, mulai dari yang asli sampai yang imitasi KW sekian. Menurut informasi dari Mr Muralli, ada 2 tempat yang jadi jujugan, yaitu Lucky Plaza yang menjual barang-barang yang teramat sangat murah (dengan kualitas yang kadang iya kadang nggak) dan Takashimaya yang menjual barang-barang branded yang sudah pasti asli bukan KW tapi harganya selangit. Singapura memang boleh dikata surganya orang yang mencintai bangunan dan mencintai belanja. Saya tidak terlalu mencintai bangunan dan tidak mencintai belanja. Jadi, saya merasa kurang cocok kalau suatu saat harus kembali ke Singapura kecuali untuk urusan studi, bisnis, atau mencari alat-bahan lab (di Singapura ini ada gudangnya SIGMA yang menjual alat-alat lab dengan kualitas (katanya orang penelitian sih) nomer satu dan terbaik, di Indonesia tidak ada karena iklim penelitian di Indo masih jelek). 
Mount Elizabeth Hospital dari Lucky Plaza

Karena kami pemuja barang-barang murah, kami bergegas ke Lucky Plaza. Melihat barang-barangnya kami sudah kaget-kaget duluan karena semuamuamuanya murah sekali. Ada asbak (atau pajangan yang bentuknya seperti asbak (?)) 10 dolar dapat 5 asbak (bayangkan, 1 asbak dari bahan alumunium Cuma dihargai sekitar Rp 19000)), gantungan kunci 18 biji 10 dolar, kaos bahan saringan tahu 10 dolar dapet 3. Sementara, di toko-toko luar, asbak dijual 10 dolar hanya untuk 1 asbak. Adalagi lensa tele (kalau tidak salah 70-300) milik Nikkor hanya dihargai sekitar Rp 1 juta saja sementara di Indonesia sudah berapa sendiri harganya. Karena harga-harga yang terlalu dan teramat sangat murah inilah yang membuat saya mengurungkan niat untuk membeli karena khawatir. Apalagi lensanya setelah saya lihat-lihat kok sepertinya kurang meyakinkan. Takut terlanjur beli, ternyata replika atau KW sekian. Memang di Lucky Plaza ini perlu kehati-hatian ekstra untuk membeli barang-barang.
Lucky Plaza

Setelah cukup puas jalan-jalan di Lucky Plaza, kami bergegas menuju ke Little India. Little India pun juga hanya berisi rumah-rumah dan suasana (yang katanya) mirip dengan di India. Populasi orang India di Singapura kabarnya juga terus meningkat. Kondisi ini membuat daerah Little India semakin hidup. Kami sempat mampir ke Mustafa Center, sebuah pusat oleh-oleh dan barang-barang yang katanya relatif bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya. Kami masuk, dan ternyata tidak berbeda jauh dengan....Toko Progo...di Jl C Simanjuntak Jogjakarta -_____- akhirnya kami keluar lagi dan hanya memilih untuk jalan-jalan di Little India yang cukup sepi.
Salah Satu Sudut Little India

Setelah waktu menunjukkan pukul 17.00, kami bergegas menuju ke rumah makan untuk makan malam kami. Berhubung waktu masih sore, kami meminta makanan kami dibungkus saja. Menu makan malam kami adalah menu Indonesia di sebuah rumah makan yang lokasinya ada di dalam. Sepertinya sih, yang punya orang Surabaya (dari logatnya kelihatan beliau sempat berbicara dengan logat Suroboyoan). Menu kami hanya oseng, kari ayam, telur balado, mie, kerupuk, buah, dan daging ikan.

Kami memutuskan untuk segera menuju hotel karena kelelahan selama seharian jalan-jalan kesana kemari. Hotel kami kali ini ada di Fragrance Hotel Selegie. Bukan hotel mewah, tapi lumayan nyaman lah buat beristirahat. Apa-apa di Singapura masih cukup mahal saat itu, kabarnya karena masih dalam masa-masa Imlek. Kamar kami masing-masing terdiri dari 2 tempat tidur dan 1 kamar mandi dengan fasilitas air hangat. Kami bergegas beristirahat karena malam harinya kami sepakat untuk jalan-jalan malam dengan menggunakan MRT.
Kesibukan Malam Depan Selegie *Judulnya foto yg gagal gara-gara gak ada tripod*

Pukul 19.30 kami masing-masing sudah siap. Kami kemudian berjalan sedikit ke stasiun MRT Little India. Lokasinya sedikit di dalam. Memang enaknya orang Singapura lebih suka jalan kaki atau pakai kendaraan umum. Pemerintah Singapura memberlakukan tarif yang lumayan mahal dengan ERP untuk kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya. Parkir pun harus ada di lokasi parkir khusus (biasanya berupa tempat parkir sentral) dengan tarif otomatis yang beragam harganya. Sehingga, penduduk Singapura lebih suka naik angkutan umum dengan biaya yang terjangkau.
Tangga dari Permukaan Tanah Hingga Turun Sampai di Stasiun MRT

Stasiun MRT ini bagian yang menyembul ke atas tanah hanya kecil sekali, mungkin lebih kecil daripada rumah tipe 36. Kami harus menuruni tangga sampai 20 meter hingga tiba di stasiun Little India. Ini artinya MRT di Singapura berada 20 meter di bawah permukaan tanah. Sistem tiketing semuanya sudah otomatis. Jadi, kita membeli tiket di mesin. Memasukkan uang dengan nominal tertentu, tiket langsung dicetak, kembalian pun langsung muncul. Sistem yang memudahkan, tidak rumit, pembelian pun tidak sampai 2 menit. Kami berencana pergi ke Lucky Plaza lagi untuk hunting oleh-oleh setelah tahu harga di Lucky Plaza adalah yang termurah. Tiket per orang tidak sampai 2 dolar Singapura. 10 dolar Singapura kami gunakan beli tiket untuk 6 orang saja masih ada kembalian. Setelah tiket di tangan kami masing-masing, kami memasuki gerbang. Cukup menempelkan tiket pada mesin yang ada, maka pintu akan terbuka. Tiket ini harus disimpan sampai stasiun tujuan kita agar kita bisa keluar dari stasiun. Uniknya, meskipun tidak ada penjaga sama sekali di stasiun tersebut, manusia-manusia yang akan menggunakan MRT sangat tertib: memiliki tiket dan tidak ada yang menerobos masuk tanpa tiket. Memang kedisiplinan kadang harus diterapkan dengan peraturan yang mengekang dan mengikat (nanti katanya dianggap melanggar HAM)...upsss....

Setelah masuk gerbang, kami harus turun 1 tangga lagi. Kali ini turunnya sekitar 10 meter. Jadi, total sudah 30 meter kami turun. Stasiunnya sangat sederhana, hanya ada 2 jalur. 1 jalur mengarah ke Dhoby Gaut (Harbour Front), jalur lainnya mengarah ke Punggol. Kami harus memilih MRT yang menuju ke Harbour Front untuk turun di Dhoby Gaut.
Peta MRT Singapura yang Ada di Setiap Stasiun

Jarak dari Little India ke daerah Orchard Road sekitar 3,5 km. Kami harus transit di Dhoby Gaut. Di ruang tunggu ini, tertera MRT selanjutnya akan datang berapa menit lagi. Rata-rata jarak antar MRT adalah 2-4 menit, dan uniknya, semuanya on time dan tidak ada yang terlambat. Beda dengan Trans Jakarta. Di layar di halte tertulis bis 4 menit lagi akan datang. Datangnya kadang lebih dari 4 menit, kadang baru 2 menit sudah datang, kadang nggak datang-datang, kadang lagi tepat waktu, tapi hanya di koridor tertentu. 
Suasana MRT ke Marina Bay

Ketika MRT datang, kami segera masuk. Suangat tertib sekali. Di pintu masuk, ada garis yang memisahkan dimana kami harus menunggu dan dimana jalan bagi orang yang baru saja turun dari MRT. Dan lagi, penumpang MRT benar-benar memprioritaskan mereka yang akan turun, baru yang akan naik baru benar-benar naik setelah yang akan turun habis. Beda sekali ya. Kami naik dan memilih untuk berdiri saja. MRT kemudian berjalan. Sebenarnya, kalau boleh bilang, rasanya sangat mirip ketika naik Commuter Line di Jakarta. Anteng sekali, minim getaran, ngeremnya halus, suaranya juga halus (naik CL juga kaya gini, persis dah). Kalau pintu membuka dan menutup ada peringatannya, stasiun berikutnya ada peringatannya, top banget lah (CL itu sebenarnya juga udah top banget, hanya sistem tiketing dan kepastian keberangkatannya aja yang perlu dibenahi). Perjalanan dari Little India ke Dhoby Gaut hanya memakan waktu kurang dari 5 menit. Ketika kami akan turun dan bergeran ke pintu, orang yang ada di sekitar kami langsung memberikan jalan agar kami mudah mengakses pintu keluar. Pun begitu kami akan turun, diluar cukup ramai penumpang akan naik, tapi mereka memberikan akses bagi kami untuk turun lebih dahulu. Benar-benar JUARA!
Suasana Stasiun MRT Singapura

Sekilas Dhoby Gaut ini terlihat sama dengan Little India. Tapi, ternyata Dhoby Gaut ini adalah stasiun transit MRT. Stasiun ini dilewati lebih dari 2 tujuan MRT: Harbourfront-Punggol PP, Jurong East-Marina Bay PP, dan Dhoby Gaut-Marina Bay-Harbourfront. Disini kami transit untuk kemudian ganti MRT jurusan Jurong East untuk kemudian turun di Orchard Road. Anda bingung membaca tulisan trayek saya? Yakinlah, disana Anda akan dimudahkan 100 kali lipat daripada di Indonesia dengan petunjuk-petunjuk yang teramat sangat detil, jelas, dan sesuai kebutuhan. Untuk mencapai trayek Jurong East ini, kami harus naik 1 lantai lebih dahulu baru kemudian mengikuti petunjuk untuk mengambil MRT tujuan Jurong East. Kami hanya perlu menunggu 2 menit untuk menaiki MRT Jurong East. Kali ini kereta cukup kosong, sehingga kami bisa dapat bangku untuk duduk. Cukup nyaman, seperti naik Prambanan Ekspress yang KRDE. Waktu perjalanan dari Jurong East sampai ke Orchard Road tidak sampai 5 menit. Jadi, total perjalanan kami dengan MRT sejauh 3,5 km hanya sekitar 12 menit, sudah termasuk perpindahan antar haltenya. Cukup cepat bukan jika dibandingkan dengan lewat jalan raya yang harus memutar?

Kami bergegas berjalan lagi agar segera berada di permukaan tanah. Jangan bayangkan karena ada di dalam tanah suasanya jadi gelap gulita dan pengap lho ya. Udaranya sama dengan di permukaan tanah, malah lebih sejuk. Suasananya juga terang benderang karena banyak lampunya. Terbaik lah pokoknya mass rapid transitnya Singapura ini.

Kami naik tangga sekitar 3 kali. Ada tangga berjalannya, dan lajunya cepat sekali. Tiba-tiba, kami sudah berada di dalam komplek Takashimaya. Memang efektif sekali Singapura ini karena menggabungkan stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan. Jadinya lebih hemat tempat lagi. Kami bergegas keluar dari Takashimaya dan mencari penyeberangan. Karena tak kunjung mendapatkan underpass, kami menyeberang lewat zebracross. Pun kami harus taat, ketika lampu menyeberang berwarna hijau, kami baru diperbolehkan menyeberang bersama puluhan orang lain yang turut menyeberang bersama kami. Tidak ada kendaraan yang menyerobot atau mengklakson-klakson kami ketika menyeberang. Setelah lampu menyeberang menyala merah, baru kendaraan-kendaraan tadi berjalan lagi. Oh iya, sekedar info, semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Singapura hingga saya masuk ke hotel untuk tidur, saya baru mendengar 2 kali suara klakson kendaraan bermotor. Wow, hebat kan? Sekalipun lalulintasnya saya bilang mirip di Surabaya (lengang tapi ramai), tapi hanya 2 kali saya dengar suara klakson dari beribu-ribu kendaraan yang saya lihat. SUPER!
Tangga di depan Takashimaya

Lagi-lagi di Lucky Plaza kami membeli oleh-oleh sepuasnya. Saya pun mborong sesuka hati saya. Saya menghabiskan 30 dolar singapura untuk beli 1 kaos, 5 asbak, dan 18 gantungan kunci untuk oleh-oleh. Dan ternyata, bentuk fisik kaos yang harga perbijinya 10 dolar dan yang 10 dolar dapat 3 adalah....sama....Tau gitu kan ambil yang 10 dolar dapet 3 -____-

Setelah kami masing-masing puas berbelanja, kami segera menuju ke underpass yang baru saja kami temukan. Dan ternyata tembusnya ada di dalam Takashimaya -____- pantesan dicari dari tadi nggak nemu juga. Sebelum kembali ke hotel, kami mencoba Es Krim Singapura. Hmmm, ini dijual juga di Mall Ciputra World dengan harga Rp 15.000. Saya pikir penjualnya pakai rombong yang lumayan mewah gitu ya. Dan ternyata.....rombongnya lebih mirip penjual es dung-dung gitu, Cuma bedanya es yang dijual ya es Walls. Kami membeli rasa coklat dan rasa vanila, karena rasa mbayar dan rasa kakean protes tidak tersedia :D Harganya lebih murah daripada yang di CiWorld. Hanya 1 dolar saja termasuk roti tawar berwarna hijau. Rasanya...hmmmm...seperti Es Walls lah pokoknya *ya iyalah -____-*

Setelah selesai makan dan membuang sampah di tempatnya (membuang sampah sembarangan di Singapura bisa berakibat bangkrut karena dendanya yang tidak sedikit, dan toh tong sampah ada di mana-mana), kami bergegas menuju ke stasiun MRT Orchard Road. Kami kembali ke hotel. Perjalanan pulang kali ini lebih padat daripada berangkatnya karena memang waktu itu jamnya bubaran kantor (kantor bubar pukul 21.30) sehingga memang MRT jauh lebih padat daripada berangkatnya. Meskipun berduyun-duyun orang antri, tapi tidak ada satupun yang dorong-dorong. Tidak ada juga yang memaksa masuk meskipun MRT dalam kondisi padat. Yang ada malah saling mengalah. Kalau MRT kelihatan penuh, mereka memilih mengalah dan menunggu MRT berikutnya. Yang antri belakangan pun tidak merebut giliran yang antri duluan.

Setibanya di hotel, kami segera beristirahat karena trip besok paginya akan dimulai pukul 09.00 dan tergolong trip panjang, karena kami akan menempuh trip Singapura-Melaka-Kualalumpur via Lebuh Raya.

Malam hari, setelah beraktivitas seharian ini, saya kemudian berpikir. Singapura ini begitu hebatnya di tengah keterbatasannya: keterbatasan sumber daya alam yang jelas-jelas dia hanya sebuah negara dengan pulau yang kecil dikelilingi lautan dan keterbatasan sumber daya manusia bahkan Singapura memberikan kemudahan bagi warga negara lain yang ingin menjadi warga negara Singapura. Namun dengan keterbatasan itu semua, Singapura bisa maju dan menjamin masyarakatnya: transportasi yang tertata, pendapatan bulanan yang tidak murah, hunian layak, makanan yang layak meskipun biaya yang mahal, air minum, sarana kesehatan bertaraf internasional, hingga pendidikan yang baik juga (ada NUS yang terkenal sangat baik kedokteran, kedokteran gigi, dan riset-risetnya). Indonesia dengan sumber daya yang berlimpah-limpah ini, mampukan seminimalnya jadi seperti Singapura: sistem transportasi yang teratur, petunjuk yang jelas? Tentu bisa. Sangat bisa. Hanya perlu kedisiplinan dari masing-masing kita. Masing-masing dari kita tentu sangat ingin dianggap dewasa dengan tidak perlu diperintah. Maka, tanpa diperintah, tanpa ada peraturan yang mengatur terlebih dahulu, marilah kita menjadi tertib dan menaati semua peraturan yang berlaku. Katanya pengen Indonesia seperti Singapura kan? :D

Komentar

Postingan Populer