Memburu Mahameru (Etape V) : The Real Memburu Mahameru, Antara Ambisi dan Realita

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00. Sejak awal tiba di Kalimati, niat saya untuk muncak sudah pupus. Mengingat badan yang remek setelah digenjot langsung dari Ranupani-Ranukumbolo-Kalimati. Tapi, begitu bangun badan tiba-tiba segar dan seisi tenda memutuskan untuk muncak. Cuma 2 yang memutuskan untuk tidak ke puncak.

Sejak pukul 01.30 kami sudah mempersiapkan semuanya. Ada yang sarapan dulu, ada yang bergegas mencari senter. Tiap anak harus bawa senter satu. Saya ingin sarapan dinihari dulu, tapi waktu sudah mepet. Penting artinya sarapan secukupnya sebelum berangkat. Terutama untuk deposit tenaga untuk medan yang sangat berat. Tracknya sih ‘Cuma’ 2,7 km. Tapi medannya full tanjakan tanpa jeda sampai puncak mahameru. Kabarnya, untuk menuju ke puncak disarankan untuk membawa jas hujan karena tracknya basah, terutama ketika turunnya nanti. Selain itu untuk melindungi agar pakaian tidak kotor. Daripada dimasukkan ke tas dan menjadi beban, saya langsung pakai jas hujan berbentuk baju tersebut. Kaos+jaket+jas hujan. Jas hujan lumayan berguna untuk mencegah kedinginan.

Pukul 02.00, kami berangkat bersama-sama, kecuali 2 orang yang memilih tinggal di Kalimati. Saya memilih berangkat ke Mahameru karena Kalimati cukup horor suasananya. Benar-benar hening karena nyaris semua pendaki naik ke atas. Kami adalah pendaki terakhir yang naik ke Mahameru. Di belakang kami ada satu grup lagi, tapi segera menyelip kami saat kami mulai naik ke Hutan pinus. Perjalanan kali ini, kami sama sekali tidak membawa carrier. Hanya tas kecil saja dan beberapa botol minuman. Kali ini disepakati tiap 20 menit berjalan diselingi istirahat 3 menit.

Waktu turun dari Kalimati, masih belum merasakan medan berat. Baru ketika mulai masuk daerah hutan pinus, saya merasa medan ini sangat berat. Tanjakan yang curam dengan jalur yang membentuk lorong-lorong. Kondisi gelap gulita, dan lagi-lagi saya berada di posisi paling belakang. Sesekali saya menyenter ke belakang. Prinsipnya, ketika ada yang memanggit saya dari belakang, saya tidak menoleh. Dan itu sempat beberapa kali. Beberapa kali juga sempat ada yang mengikuti, tapi ketika disenter ke belakang, hilang. Yaaa, resiko berada di belakang sendiri.

Sepanjang perjalanan, saya tidak berani nyenter ke kanan kiri, apalagi ke atas pohon. Selain ngeri karena pernah nyenter ke kanan kiri, dan ternyata.....jurang....dan jalurnya ternyata Cuma sebatas itu saja dan kanan kiri sudah....jurang. Maka, cukup sekali itu saja nyenter kanan kirinya.
Di perjalanan, kami bertemu beberapa pendaki yang sudah turun. Kami sempat dibujuk oleh beberapa pendaki yang turun untuk mengikuti mereka turun karena puncak sangat ramai dan tidak bisa lewat. Daripada mubazir capek-capek sampai Arcopodo ternyata tidak bisa naik, lebih baik turun. Tapi kami tetap satu tekad: naik sampai Mahameru!

Tak lama kemudian, kami sudah tiba di Arcopodo. Hanya sekitar 1,5 jam saja. Semudah itu? Saya kira begitu. Kalimati-Arcopodo tracknya 1,2 km. Anehnya, saya tidak mengalami kelelahan yang sangat dan masih fit. Saya cukup yakin bisa sampai Mahameru. Kami terus berjalan sampai bagian paling atas Arcopodo. Kami beristirahat sejenak, beberapa ada yang kencing. Beberapa cewek sebenarnya memilih untuk tinggal di Arcopodo ini.

Ayu                        : Aku tinggal disini aja ya, udah nggak kuat
Yang lain              : Wes, tinggal disini? Yakin? Nggak pengen naik? Tinggal deket lho.

Tiba-tiba Rendra jalan ke sebuah batu yang ada tulisannya, lalu membacakan tulisan di batu

Rendra                 : In Memoriam ...... meninggal pada.....di Arcopodo
Ayu                        : Wes, aku ikutan naik aja.... *setelah tahu ada banyak memorial di Arcopodo*

Di Arcopodo memang banyak memorial, dan kabarnya cukup banyak orang yang hilang di Arcopodo. Memang bener sih, kanan kiri Arcopodo langsung jurang yang menjulang dalam tanpa kompromi.

Kami kemudian berjalan kembali. Kali ini kami harus melewati batas vegetasi, atau yang sering disebut sebagai Kelik. Batas vegetasi ini berupakan batas terakhir ada tumbuh-tumbuhan dan ladang pasir. Kabarnya, disini juga sering orang hilang tersesat atau terperosok. Yang penting, satu rombongan tetap berjalan bersama-sama. Jalur di Kelik ini adalah sejenis lorong-lorong yang terbentuk dari tebing-tebing kecil di sisi kanan kiri. Jalannya ada cukup banyak. Ada yang berujung ke jurang, ada yang benar, ada yang sedikit memutar. Perlu kehati-hatian.

Jalan sangat gelap, Cuma cahaya lampu Kota Malang dan Kepanjen yang kelihatan dari atas. Senter tetap saya fokuskan di jalan saya. Sampai benar-benar di ujung Kelik, kaki dan tangan saya gemetaran. Bukan karena dingin, tapi karena jalur yang Cuma berbentuk bedengan pasir dan kanan kirinya langsung jurang yang cukup dalam. Butuh hati-hati sekali lewat sini, dan tidak memungkinkan papasan dari arah berlawanan. Jadi benar-benar harus antri satu-satu supaya tidak ada yang terjatuh. Kabarnya, Kelik ini dulunya dihubungkan dengan jembatan beton. Namun, sejak erupsi Semeru paling parah, jembatan beton tersebut rubuh dan tinggal tersisa bedengan pasir. Kami bergandengan satu sama lain, sampai kami tiba di track pasir yang lumayan aman dan lebar.

Kami mulai terpisah-pisah. Saya masih ada di deretan paling belakang sembari menetapkan ritme berjalan supaya teratur dan tidak mudah capek. Tiap 20 langkah, istirahat sebentar. Dan tiap 60 langkah istirahat lama dengan duduk. Track dari Kelik-Mahameru ini benar-benar didominasi pasir kasar dengan kualitas yang sangat bagus. Ketika kita jalan 3 langkah, kenyataannya hanya jalan 1-2 langkah. Tergantung pintar-pintarnya kita menjejakkan kaki di pasir. Untuk menghindari kemerosotan yang mendalam, saya memilih track bekas injakan orang lain. Lebih efektif, tapi lebih capek juga ketika langkah kaki yang kita ikuti terlalu besar atau kekecilan.

Langit mulai terang, sementara saya masih ada di sepertiga perjalanan. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 05.00. Berkali-kali saya berhenti sejenak setelah 60 langkah, kemudian ketiduran cukup lama, sampai hampir jatuh, lalu bangun, lalu lanjut lagi. Suatu hal yang menguntungkan kami adalah tidak ada awan yang menyelimuti bukit. Suhunya relatif hangat dan tidak ada halangan pandangan.

Sampai setengah perjalanan menuju Mahameru, saya beristirahat sejenak. Tandem naik saya, Falah, masih ada di atas saya dan masih tertidur sambil terduduk. Ayu dan rekan-rekan lain masih dibawah, istirahat karena kelelahan. Sayapun duduk sambil mainan pasir. Tiba-tiba dari bawah ada orang teriak-teriak histeris ke arah saya, katanya “Awas mas ada batu besar dari atas mas! Minggir mas, minggir!” Saya menoleh ke belakang. Ternyata ada orang yang barusan turun dari puncak menendang batu lumayan besar, seukuran kepala manusia. Saya Cuma melihat batu itu menggelinding, tanpa menghindari sedikitpun batu yang menggelinding bebas tadi (karena saya yakin nggak mungkin tiba-tiba batunya belok) dan meminta orang dibawah saya hati-hati.
Karena takut kejatuhan batu lagi, saya bergerak naik ke atas lagi. Perjalanan tinggal sebentaaaarrr lagi sampai puncak. Setelah 120 langkah, saya istirahat lagi. Dari belakang saya melaju seorang laki-laki dengan cepat dan kondisi masih segar sekali.

Masnya                   : Wuah, puncak sebentar lagi
Saya                       :Masnya tadi ngecamp dimana?
Masnya                   : Di Kalimati, Mas. Masnya di Kalimati atau Arcopodo?
Saya                       : Di Kalimati Mas.
Masnya                   : Berangkat jam berapa tadi Mas? Berapa orang?
Saya                 : Jam 2 pagi tadi mas dari Kalimati. Total ya sekitar 14 orang. 2 orang pilih tinggal di Kalimati
Masnya                 : Oh, masih siangan saya. Saya tadi jam 4 mas baru naik keatas. Sendirian. Teman saya sakit tadi. Saya rawat dulu di tenda. Mari mas, saya duluan ya
Saya                       : Oh...ya...monggo *sembari bengong*

Sedemikian masnya semangat bisa naik sampai kesini, dengan ngepoor 2 jam. Sementara saya....saya.....berangkat udah duluan, masih sampe setengah jalan....

Enaknya di jalur pasir ini, ketika Anda kehausan dan Anda meminta makanan atau minum dari pendaki yang turun, Anda pasti diberikan. Tidak ada yang menolak memberikan sama sekali. Bahkan sempat ada yang memberikan kepada kami sebotol 1,5 liter penuh. Ada juga yang memberikan Roma Malkis kepada kami. Bahkan kadang kita ditawari makanan atau minuman tanpa kita meminta. Pun, kita juga tidak boleh pelit dengan memberikan atau menawarkan makanan atau minuman atau obat-obatan yang kita punya kepada pendaki lain. Inilah indahnya solidaritas antar sesama pendaki.

Kalimati dan Gunung Kepolo Dilihat dari Lereng Pasir Semeru

Berbekal semangat melimpah, perjalanan saya lanjutkan. Tak lama kemudian saya melihat Adi Cuma duduk-duduk di pinggir. Saya perhatikan, beneran Adi nggak. Ternyata bener. Ternyata Adi sudah lebih dulu tidak kuat naik ke atas karena tendon kedua kakinya sudah narik. Ia lebih memilih turun dengan gelesotan di pasir.
Saya terus naik. Tak lama kemudian, giliran pangkal paha saya bermasalah. Mulai linu kalau dipakai jalan. Saya sempat meminta Neoreumacyl ke Rendra untuk sedikit meredakan sakit. Kalau bawa Geliga, sebenarnya lumayan menolong untuk cedera otot. Saya memutuskan istirahat sejenak. Sementara rombongan sudah benar-benar kocar-kacir nggak karuan. Ada yang di deket kelik, ada yang sudah sampai puncak, ada yang di atas saya sedikit, ada yang mulai turun, ada yang Cuma tiduran di batu besar.

Setelah agak enakan, saya coba paksakan naik lagi. 120 langkah pertama lumayan, meskipun pelan-pelan. Kemudian, sakit lagi, pakai teknik merangkak. Lumayan bergerak. Sampai mencoba track porter yang ada di sebelah kanan, yang kabarnya lebih ringan dan tidak buang tenaga. Sempat naik sedikit. Kelemahannya, di track porter ini tidak bisa merangkak. Jadi, harus jalan condong atau jalan tegak.

Jelang Puncak Mahameru

Setelah berjalan beberapa meter, ternyata kaki sudah benar-benar tidak kuat. Saat itu, Falah berada di atas saya. Track tinggal sekitar 100-200 meter lagi sampai Mahameru. Kondisi saya bimbang, ragu, dan sedih. Seandainya saya teruskan, mungkin nanti resikonya bisa berat. Apalagi masih ada jalan turun dari Mahameru ke Kalimati yang tracknya cukup mengerikan. Kalau tidak saya teruskan, jelas rugi. Dan belum tentu tahun berikutnya bisa kembali kesana. Akhirnya setelah termenung cukup lama, sekitar 30 menit, saya memutuskan diri untuk turun. Waktu itu sudah pukul 07.30. Tinggal sakcrit lagi sudah sampai atas. Namun, dengan pertimbangan berbagai kondisi, track yang masih sangat panjang, akhirnya saya turun. Falah saya suruh untuk tetap naik. Dan memang Falah adalah orang terakhir yang berjalan menuju puncak Mahameru. Sementara saya segera bermain ski pasir dan turun ke bawah.
Sejenak menghampiri gadis-gadis yang beristirahat di batu, dan menghampiri Adi untuk turun ke Kalimati bersama-sama. Karena berjalan sendirian di gunung adalah berbahaya, meskipun siang hari.
Perjalanan turun lebih cepat daripada perjalanan naik. Maklum, karena jalanan menurun dan relatif bebas hambatan. Meskipun kaki terasa linu-linu semua dan mirip orang rheumatik jalannya.

Dua Wanita yang Memilih Tinggal di Batu (Ayu Sule dan Nyak)

Pukul 08.55 saya dan Adi sudah tiba di basecamp Kalimati, dan kami segera duduk-duduk bersama 2 orang yang tinggal di Kalimati. Minum, cuci kaki, lalu tidur nyenyak di dalam tenda. Bagaimana kabar jas hujan yang saya gunakan? Hancur lebur. Dari cuma sobek beberapa centi di paha, jadi sobek di banyak bagian. Disarankan kalau pakai jas hujan pakai yang bener-bener sudah akan dibuang.

Pukul 13.00, teman-teman lainnya mulai datang. Dan kami mulai makan bersama dengan nasi yang lebih beradab dengan lauk tempe dan abon dan minum hot cocoa.


Pukul 14.00 kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan kembali berangkat pukul 16.00

TIPS:
1. Sebelum naik ke Mahameru, makanlah. Ini cukup membantu. Apalagi jika sebelum mendaki Semeru, Anda berolahraga secara rutin. Lebih sangat membantu lagi.
2. Membawa minuman seperlunya, disarankan minuman isotonic. Lebih cepat memperbaiki kelelahan tubuh
3. Membawa senter yang cukup terang, jika memungkinkan headlamp untuk mempermudah langkah
4. Ketika memasuki pasir, hindari teknik merangkak lebih dahulu. Berjalan dengan teratur dan dengan ritme sangat membantu daripada harus merangkak. Merangkak beban yang diterima tumpuan lebih besar dan mudah capek
5. Disini lagi-lagi kemampuan memotivasi diri diperlukan. Ketika bilang tidak bisa, maka yang terjadi Anda akan putus asa dan memilih untuk turun
6. Jaga solidaritas dengan pendaki lain, bahkan yang bukan group Anda. Suatu ketika Anda akan membutuhkan bantuan mereka. Sapalah mereka, jika ada kesempatan mengobrol, mengobrollah
7. Konsentrasi perjalanan malam sangat diperlukan. Tetap hati-hati, waspada, dan jangan sembrono. Apalagi dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan guyonan yang kurang pantas

Komentar

Postingan Populer