Tour de Celebes: Kembali Ke Tanah Apaji Itumi’ Mariki’ (Day 2 Part 2)

Saya menginjakkan kaki kembali untuk yang kedua kalinya disini. Tidak ada hutan, tapi adanya hutang. Tidak ada ikan, tapi adanya ikang, ikang fawzi mungkin. Tidak ada jajan, tapi adanya jajang. Tidak ada hujan, tepi adanya hujang. Karena orang Makassar selalu mengucapkan kata-kata dengan akhiran n dengan ng. Yaang...hujang turung lagi...

Saya berjalan keluar terminal dan tanya ke petugas DLLAJR yang sedang jaga gerbang terminal. Kendala bahasa pertama mulai muncul. Bapak yang saya tanyai tidak paham bahasa Indonesia, dan dia berkata-kata dengan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Makassar. Saya bingung, karena ngomongnya cepat dan suaranya keras. Tiba-tiba bapak petugas, yang wajahnya bukan wajah makassar, membantu saya menunjukkan pete-pete yang harus saya naiki.

Akhirnya, saya berjalan keluar terminal dan langsung menemukan pete-pete yang harus saya naiki. Masih kosong. Bisa jadi nanti ngompreng sana-sini, perjalanan tambah lama ini.

Dugaan saya meleset, pete-pete masih kosong tapi langsung berjalan dengan knalpot racing dan suara menggelegarnya. Stirnya juga sudah dimodif macam stir mobil F1. Pete-pete terus berjalan ke arah Kampus UNEM (Universitas Negeri Makassar). Lama kelamaan pete-pete penuh juga. Saya menyampaikan ke mas sopir untuk turun di Pantai Losari saja.

Jalan mulai beranjak lebar, dan mulai tampak Masjid Apung yang menjadi ciri khas dari Pantai Losari. Mas sopir meminta saya turun disitu karena pete-pete akan berbelok, tidak lewat Jl Penghibur. Saya bergegas turun dan membayar pete-pete Rp 5.000. Murah untuk jarak sekian, daripada harus naik ojek atau taksi.

Smartphone saya keluarkan dan segera saya buka aplikasi Google Maps. Sembari berjalan menyusuri pantai Losari, saya mencari lokasi hotel yang akan saya gunakan menginap. Kali ini saya tidak pilih hotel yang biasa, mumpung dibayari, jadi pilih yang bagus sekalian. Hotel saya terletak di Jl Daeng Tompo, jalan kaki 1 km dari tempat saya turun tadi.

Lapak-lapak Pisang Epe mulai didirikan di sepanjang jalan Pantai Losari. Sepertinya kalau malam ramai sekali Pantai Losari ini. Saya semakin bergegas menuju hotel supaya bisa jalan-jalan sore harinya.

Pukul 15.40 saya check in ke hotel dengan badan basah kuyup karena keringat. Sore itu Makassar sangat cerah, hawanya sangat panas. Tidak seperti ketika saya baru saja tiba dari Surabaya, hujan lebat. Saya menginap di hotel M-Regency, hanya bintang 3, tapi kondisinya hampir sama dengan Swiss Bell-in Manyar, Surabaya, dengan tarif yang lebih murah. Agoda ini benar-benar sangat membantu dalam mencari hotel. Rate normal hotel M-Regency ini, ketika saya tanyakan ke resepsionis, sekitar 600-700 ribu per malam. DI Agoda saya hanya kena Rp 423.000 saja sudah termasuk breakfast.
Kamarnya nyaman beud, bikin malas keluar

Saya segera masuk ke kamar di lantai 3, segera bersih-bersih diri, dan segera istirahat sejenak. Niatnya sih istirahat sejenak, sampai matahari akan terbenam. Tapi keasyikan nonton Spongebob dan Oggy and the Cockroaches, akhirnya kemalaman. Pukul 19.00 WITA saya baru beranjak keluar dari hotel, itupun karena perut sudah sangat lapar.

Saya berjalan ke arah Pantai Losari. Rupanya masih sangat ramai disana. Ada sanggar seni juga disana, dan ada beberapa orang sedang melukis. Sangat lengkap fasilitas di Pantai Losari ini, meskipun kurang satu: toilet. Saya berjalan terus ke arah selatan dengan maksud mencari makanan khas Makassar yang ada nasinya. Setidaknya Coto, Konro, atau Pallubasa lah. Tetapi sepanjang Losari, saya hanya menemukan lapak Pisang Epe, Saraba, KFC, dan ayam penyet. Selebihnya ada nasi kuning dan coto Makassar, tapi sepertinya kurang meyakinkan karena tidak terlalu ramai warungnya. Kata orang, kalau makanannya enak pasti warungnya ramai.

Saya masuk ke daerah yang ada gapuranya Sentra Kuliner Makassar. Bayangan saya sih, bayangan saya, kalau namanya Sentra Kuliner pasti ada banyak pedagang kaki lima atau minimal warung yang jualan makanan khas. Ternyata, begitu masuk kesana, hanya ada satu atau dua saja yang berjualan makanan. Itupun hanya ada 1 warung yang berjualan coto, selebihnya hanya seafood (yang katanya seafood di Losari harganya cukup mahal kalau hanya makan sendirian), nasi goreng Jakarta, Mie Titi (yang kabarnya juga khas Makassar, tapi saya sedang tidak minat makan mie), dan Chinesse food. Kalau Chinesse food sepertinya kok lebih joss yang di Surabaya daripada di Makassar. Akhirnya saya keluar lagi dari area sentra kuliner dengan kecewa, lalu menyusuri Jl Penghibur. Pilihan saya jatuh pada makan pisang epe saja, sekalian sembari berjalan nanti mungkin menemukan penjual nasi.

Awalnya, saya ingin makan pisang epe Tamallanjua’ (Mandiri) di depan Bank BNI karena sangat ramai, kemungkinannya kalau tidak enak, ya murah tapi porsinya banyak. Tapi, saking ramenya itu, harus antre. Maka saya memilih makan pisang epe yang ada di tepi pantai Losari.
Pisang Epe' antah berantah di tepi Losari

Pisang Epe dan segelas Jus Alpukat segera terhidang di depan saya, diiringi hujan lebat yang menguyur Makassar malam itu. Setelah sedikit terang, saya bergegas membayar dan bergegas kembali ke hotel. Saya harus dibuat terkejut, karena untuk 3 potong pisang bakar diberi susu dan segelas jus alpukat dihargai Rp 20.000. Mahal untuk ukuran warung kaki lima. Di Surabaya saja harga jus alpukat yang demikian Cuma sekitar Rp 8.000. Pisang bakar 3 biji sekitar Rp 6.000. Mungkin harusnya sekitar Rp 15.000, itu masih wajar.

Sepanjang perjalanan saya lagi-lagi tidak menemukan kuliner menarik. Hanya ada Mie Jakarta saja. Ngapain jauh-jauh ke Makassar kalau Cuma mau makan mie Jakarta. Akhirnya dengan penuh perasaan kecewa, saya kembali ke hotel dan berharap bisa makan banyak dari breakfast hotel saja. Setiba di hotel, saya merebahkan diri saya dan kemudian tertidur lelap setelah sebelumnya menyetel alarm.

Komentar

  1. Hai, salam kenal dari Makassar. Saya blogger Makassar. Tapi saya tidak berbicara dengan tambahan "NG" :)

    Memang sih, kalau orng2 yang sehari2nya berbahasa Makassar, kalau berbahasa Indonesia, bahasa Indonesianya terbawa dialek Makassar, jadinya ada tmbahan2 "NG" begitu. Namun utk yang sehari2nya berbahasa Indonesia saja, kayak saya ini, bahasa Indonesia tetap sama dengan bahasa Indonesia yang diajarkan guru2 Bahasa Indonesia :)

    Makasih ya sudah menuliskna banyak sekali ttg wisata di Sul Sel. Cukup detil pula :)

    BalasHapus
  2. Salam kenal juga :)
    Maklum lah baru pertama kali menginjakkan kaki di Makassar dan demikian kesannya, tetapi menyenangkan berada di sana. Semoga suatu saat ada kesempatan kembali berkunjung ke Sulsel dan Tanjung Bira, masih belum sempat diving di Bira :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer