Tour de Celebes: Coto, Konro, Pisang Epe, dan Makassar (Day 6 Part 1)
Pukul
12.30. Saya ketiduran sejak pukul 11.30, dan sekarang saya agak masuk angin. AC
kamar dingin sekali dan saya lupa pakai selimut. Saya memutuskan minum air
putih dan mandi air panas supaya badan lebih enak. Eh, ternyata kok airnya Cuma
suam-suam kuku, gak sepanas waktu di M-Regency atau di Sahid Toraja.
Yasudahlah, yang penting mandi.
Pukul
13.05, saya dan ibu saya bergegas keluar kamar karena kami tadi sudah janji
dengan Mas Erwin untuk pergi jam 13.00. Eh, ternyata ibu-ibu yang lain masih
ada yang belum mandi. Yasudah, saya dan ibu saya turun lebih dulu menemui Mas
Erwin yang sudah siap lebih dulu.
Pukul
13.30 kami semua baru benar-benar lengkap. Telat 30 menit, padahal cuaca di
luar sedang cerah berawan, cuaca yang sangat enak untuk jalan-jalan. Karena
kami sudah lapar, maka pilihan kami memulai trip ini adalah makan siang.
Pilihan kami ada 3: Coto, Konro, atau Kepiting Soka. Karena kabarnya Kepiting
Soka harganya terlalu mahal sekaligus salah satu anggota rombongan alergi
kepiting, maka pilihan otomaris tinggal 2. Kami pun memilih Coto Makassar. Mas
Erwin membawa kami ke Warung Coto Nusantara.
Coto Jl Nusantara yang di cabang Jl Merpati
Apa
yang spesial? Yang spesial adalah ini makan Coto di asalnya, Makassar. Cotonya
lebih mantab daripada kebanyakan coto di Jawa. Kuahnya kental, tapi tidak
terlalu kental, dan rasanya tidak asin seperti kebanyakan coto di Surabaya.
Dimakan nikmat bersama ketupatnya. Harga per porsi lumayan juga, Rp 18.000
belum termasuk kupatnya.
Setelah
makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Fort Rotterdam. Disana tidak ada
yang sangat menarik. Lebih kurang mirip dengan Benteng Vredeburg di Jogja: ada
bentengnya, dan ada bangunan-bangunan berisi penjelasan sejarah masa
kependudukan Belanda di Makassar. Karena rombongan kurang tertarik dengan
sejarah dan ingin segera melihat mall bawah tanah di Karebosi, maka saya manut
saja dengan rombongan.
Fort Rotterdam
Dalam
sekejap kami sudah berpindah ke parkir bawah tanah Lapangan Karebosi. Sudah
sejak lama tersiar kabar bahwa di bawah lapangan Karebosi terdapat pusat
pertokoan yang terintegrasi dengan Makassar Trade Center (MTC). Mall bawah
tanah ini disebut sebagai Karebosi Link. Keduanya saling berhubungan melalui
terowongan bawah tanah. Bagi saya mirip dengan ITC di Surabaya Semut.
Tatanannya kurang bagus, dan malah terkesan seperti pasar. Pokoknya, kalau
urusan mall sih masih mending Surabaya, Jogja, Bandung, sama Jakarta. Kalau
saya sih bukan penjelajah mall. Nggak cocok.
Danau dekat Trans Studio. Biasa digunakan lomba kano
Karena
isinya Cuma begitu-begitu saja, namanya pusat perbelanjaan, kami beralih ke
arah Tanjung Bunga. Rupanya disanalah bertempat Trans Studio Makassar, wahana
hiburan indoor pertama kali milik Trans Corp yang dibangun di Indonesia. Baru
setelah itu menyusul Trans Studio Bandung, dan akan segera menyusul Trans
Studio Surabaya. Kami tidak masuk ke dalamnya, karena toh percuma rombongan
kami juga pasti tidak semua bermain karena rata-rata sudah tua umurnya. Kami
jalan terus saja ke arah Kabupaten Gowa, ke arah institut pelayaran Gowa yang
namanya cukup terkenal. Di dekat sana, ada sebuah sungai yang ketika musim
penghujan dipenuhi dengan kapal-kapal nelayan yang seluruhnya bercat putih yang
tidak melaut karena ombak besar. Karena kapal memenuhi badan sungai, maka tidak
melaut satu, tidak melaut semuanya. Kalau semuanya melaut, semuanya akan
berangkat secara bersama-sama.
Green River View, katanya kalau malam lampionnya bagus
Kapal-kapal tidak melaut berbaris rapi memenuhi sungai
Setelah
itu, kami kembali ke arah Tanjung Bunga. Sepanjang perjalanan dari perbatasan
Gowa ke Tanjung Bunga, ada 2 pantai yang cukup bisa menjadi sarana refreshing
bagi masyarakat sekitar. Rencananya pula, daerah Tanjung Bunga ini akan
dijadikan seperti kota satelit bagi Makassar. Tapi sepertinya pengembang kurang
memperhitungkan segala aspeknya, sehingga cukup banyak bangunan terbengkalai di
sana.
Losari sore itu
Perjalanan
kami lanjutkan dan kami akhiri di Pantai Losari. Sembari duduk-duduk menikmati
kripik singkong, kami menyaksikan banyak sekali masyarakat Makassar yang
menghabiskan sorenya di akhir pekan itu untuk bersantai di Pantai Losari. Hal
inipun dimanfaatkan oleh banyak pedagang disana, mulai dari pedagang pentol
yang akhirnya saya ketahui lagi-lagi dari Jawa Timur, pedagang bakso umum,
maupun pedagang pisang epe dan saraba. Saat hari mulai beranjak gelap,
rombongan mulai mengarah untuk jajan ke lapak pisang epe. Saya bertanya kepada
Mas Erwin tentang pisang epe yang enak
“Bang,
pisang epe yang enak sebelah mana?”
“Di
depan Bank BNI itu aja bang, dari KFC lurus dikit aja. Namanya Pisang Epe Mandiri.”
“Oke
bang, saya kesana. Ikut nggak bang?”
“Nggak
bang, saya disini aja.”
Rombongan
pun saya arahkan ke depan Bank BNI karena saya pernah coba pisang epe yang ada
di sepanjang pantai Losari. Rasanya biasa saja, malah ada pisang yang belum
matang, sehingga rasanya agak sepet. Tetapi rombongan malah pilih makan di
depan RS Stella Maris. Akhirnya dengan berat hati, saya pergi sendirian ke
depan Bank BNI. Toh pelan-pelan sudah mulai hapal tentang anatomi Makassar,
meskipun belum mendalami.
Ternyata
harus berjalan cukup jauh. Sampailah saya di Pisang Epe ‘Tamallanjua’
(Mandiri)” yang lokasinya ada di depan Bank BNI. Segera saya memesan pisang epe
coklat keju dan es milo. Tak sampai 10 menit, pisang epe sudah tersaji.
Tampilannya memang lebih menarik, seperti menggugah selera. Saya rasakan pun,
gula jawanya masih terasa gula jawa dengan sedikit susu coklat, jadi tidak
serak di leher. Pisangnya pun juga sudah hampir matang, sehingga rasa manisnya
sudah mulai keluar. Bakarannya juga enak, tidak terlalu gosong. Meskipun
harganya lebih mahal, Rp 21.000, tapi lebih puas lah daripada yang waktu hari
kedua kemarin. Sayang, sempat memotret tapi pas dicari fotonya raib.
Tiba-tiba
HP saya berdering. Ternyata ibu saya menelpon karena koleganya dari Universitas
Hasanuddin sudah datang. Akhirnya saya bergegas menuju ke Stella Maris. Disana
sudah ada kolega ibu saya bersama keluarganya. Kolega ibu saya bernama Pak
Farid, seorang dosen Fakultas Pertanian Unhas. Beliau ini sangat dahsyat,
menyelesaikan S2nya dalam jangka waktu 2,5 tahun saja. Sementara ibu saya dan
rekan-rekannya yang lain rata-rata baru selesai 3,5-5 tahun. Beliau juga sedang
promosi menjadi professor. Keluarga Pak Farid ini juga sudah cukup akrab dengan
keluarga saya, karena cukup banyak cerita sewaktu kuliah di Jogja. Karena sudah
beranjak maghrib, Pak Farid mengajak rombongan kami untuk makan Konro di Konro
Karebosi, konon kabarnya konro ini juga legendaris di Makassar.
Sembari
menunggu sholat Maghrib selesai, rombongan kami menunggu di mobil. Anggota
rombongan yang Muslim memilih tidak sholat. Kami rasan-rasan di mobil tentang
pilihan makan Konro. Mas Erwin menakut-nakuti porsi konronya besar sekali,
seporsi cukup untuk dua orang. Masing-masing dari kami yang sudah tua mulai
khawatir nanti tidak habis atau ada lonjakan tensi. Apalagi yang sudah biasa
tidak makan malam. Kalau saya sih seneng-seneng aja, toh makanan khas, seperti
apapun juga rasanya harus dilahap. Setengah terpaksa dan setengah phobia, kami
berangkat ke Konro Karebosi dengan dua mobil.
Konro Karebosi Jl G. Lompobattang: Konro bakar dan Sup konro
Tiba
disana, kami langsung naik ke lantai 2 untuk memesan. Rupanya, Pak Farid ingin
agar semuanya pesan satu-satu. Wajah pucat takut kolesterol mulai muncul. Saya
dengan mantab pesan Konro biasa 1 porsi, sementara ibu saya pesan konro bakar 1
porsi biar nanti bisa join. Ternyata benar, konro kami masing-masing datang,
dan yang sop konro porsinya besar sekali. Saya berjuang harus menghabiskannya
sendirian, dengan tambahan supply konro bakar dari ibu saya. Super sekali!
Untungnya, konronya rasanya sangat enak sekali dan daging-tulang mudanya lunak
sekali. Sehingga enak ngunyahnya, dan enak nelannya. Seporsi sop konro dan
seperempat konro bakar langsung saya sikat.
Setelah
selesai makan, kami langsung berpamitan dengan Pak Farid karena Pak Farid akan
segera meneruskan perjalanan ke Kabupaten Bone bersama mahasiswanya untuk
melakukan penelitian. Meskipun demikian, beliau masih sempat mampir ke hotel
dan ngobrol sejenak bersama kami. Pukul 22.00, beliau berpamitan dan pulang
bersama keluarganya. Super terima kasih untuk Pak Farid.
Sementara
saya segera kembali ke kamar dan packing, karena pesawat saya pagi sekali,
pukul 06.00. Sehingga pukul 04.30 saya sudah harus berangkat ke Bandara. Karena
packing saya anggap cukup dan badan juga agak kelelahan, saya terlelap dalam
tidur.
Komentar
Posting Komentar