Tour de Celebes: Toraja, The Amazing Grave 1 (Day 4)
Lagi-lagi
saya batal menikmati Sunrise, karena pukul 06.00 langit sudah sangat terang di
Toraja. Karena kami sudah janji jam 8 akan dijemput sopir, kami semuanya
bersiap-siap. Saya masih asyik dengan kopi Toraja yang enak betul ini.
Pagi-pagi, dingin, minum kopi Toraja panas di balkon depan. Saya baru sadar
saat sudah terang, hotel Sahid Toraja ini sangat eksotis. Semua kamarnya
terdiri dari bangunan yang atapnya mirip dengan Tongkonan. Letaknya juga
berjauhan, sehingga tidak gaduh. Kanan-kiri hotel adalah hutan-hutan dan
berbukit-bukit. Hotelnya cukup masuk jauh dari Jalan Poros Enrekang-Makale.
Suasananya sangat nyaman, kamarnya juga besar (kalau mau backpackeran, kamarnya
bisa dipakai sampai 6 orang). Kamar mandinya juga enak, airnya panas, sayang
ada kecoanya. Sebagai lelaki sejati, wajar kalau takut sama kecoa. Pelayanannya
sangat ramah, semua-semua diuruskan oleh pihak hotel, termasuk urusan bis kembali
ke Makassar.
Suasana hotel pagi itu. Kebetulan hotel sepi, tamunya hanya kami dan beberapa orang lagi
Pukul
07.00 saya baru beranjak mandi. Air dinginnya segar dan dingin sekali, karena
daerah ini adalah daerah pegunungan. Daripada masuk angin, apalagi dari kemarin
fisik kurang oke, saya memilih mandi pakai air panas. Setengah jam saya di
dalam kamar mandi, bergegas bersiap memakai baju warna gelap, membawa kamera
berikut lensanya, dan perlengkapan lain. Kami semua mendapat servis breakfast
dari hotel, secara kebetulan hari itu bukan menu buffet, tapi hanya disediakan
nasi goreng saja berhubung hotelnya sedang sepi. Tidak apalah, yang penting
sarapan.
Pukul
07.55, driver yang akan mengantarkan kami keliling sudah tiba. Driver kami saat
ini masih muda, mungkin usia sekitar 30 tahun, dan bernama Mas Charles.
Orangnya ramah, murah senyum, tapi sedikit pendiam. Karena semua sudah siap dan
sudah selesai breakfast, kami segera naik ke mobil dan berangkat. Tujuan kami
pertama kali adalah menghadiri kegiatan pesta kematian di tempat saudara jauh
sekali tadi. Meninggalnya sudah sekitar 2 bulan yang lalu, tetapi baru
dipestakan bulan Januari ini, sembari menunggu keluarga berkumpul dan uang juga
cukup. Pesta sebenarnya sudah dimulai sejak hari Kamis, 8 Januari 2015. Diawali
dengan peletakan Jenazah di sebuah keranda, yang mana biasanya kalau tidak salah
upacara ini disebut sebagai Ma’badong.
Kami
bergegas berangkat karena kabarnya pesta akan dimulai pukul 09.00. Pestanya
sebenarnya akan dilaksanakan sampai hari Senin, 12 Januari 2015. Tetapi,
pemakamannya dan adu kerbau baru dilakukan Selasa, 13 Januari 2015.
View sepanjang perjalanan Mengkendek (Hotel)-Makale
Perjalanan
sepanjang hotel-Rantepao yang berjarak 30 km tidak membuat kami lelah. Begitu
mengasyikkan perjalanannya, suasananya pun tenang dan lagi damai. Tidak ada
orang urakan, semua orang tampak tenang dan damai disana. Bukit-bukit yang
begitu indah dan nampak ada beberapa patahan yang nampak menjulang tinggi di
tepi jalan. Hawanya pun sejuk-sejuk panas. Kami cukup banyak berhenti untuk
sekedar berfoto.
Patung Lakipadada dan kompleks DPRD Tana Toraja
Kami
tiba di pusat Kota Rantepao. Sebelumnya kami mampir membeli tiket bis untuk
kembali ke Makassar tanggal 10 Januari malam dengan PO Bintang Prima.
“Mbak,
Scania tanggal 10 Januari yang malam masih ada ya?”
“Untuk
berapa orang?”
“6
orang mbak.”
“Oh,
ada dek. Seat 1, 2, 5, 6, 7, 8. Yang belakang masih kosong semua. Total 28 seat
dek 1 bis.”
“Oke
mbak, saya ambil seat 1,2, 5, 6, 7,8. Pakai bis yang baru ya mbak Scanianya.”
“Baik
dek, per orang kena Rp 215.000 ya, karena ini masih masuk peak season sampai
tanggal 12 Januari.”
“Siap
Mbak. Nanti jemputnya di Hotel Sahid Toraja ya”
Tiket PO Bintang Prima. Gaul, satu tiket buat 6 orang
Yang
penting hot seat sudah diamankan. Sebenarnya ada bis dengan kursi elektrik.
Yaitu (kalau tidak salah) Primadona Scania dan Mercy OH 1836, dan PO Bintang
Timur. Tapi saya rasa terlalu mahal dan berlebihan untuk perjalanan 7 jam. Toh
juga seatnya terbatas dan harus dipesan jauh-jauh hari.
Perjalanan
kembali dilanjutkan ke arah utara Rantepao, tepatnya di daerah Bolu. Tapi kami
ada yang lupa. Kami lupa membawa ‘seserahan’ untuk pihak keluarga. Kami
bertanya ke Mas Charles, biasanya bawa apa. Karena kalau biasanya kalau di Jawa
kan hanya bawa uang untuk nyumbang. Ternyata kalau di Toraja, kami harus
membawa rokok, gula, makanan, atau beer. Jika ada ikatan keluarga atau kerabat
dekat, maka ada baiknya membawa babi. Kami kelabakan, tapi akhirnya kami
membeli rokok 1 slop saja untuk seserahan.
Sekilas rangkaian upacara
Kami
memasuki area pesta, dan kami langsung disambut oleh keluarga. Keluarga yang
saya kenal ini sudah kenal sangat dekat dengan keluarga saya, sehingga kami
menganggapnya sebagai saudara sendiri. Kami dibawa masuk ke rumah yang menjadi
basecamp dari semua keluarga inti, di lantai 2. Kami dipersilakan duduk disana
dan dipersilakan melihat semua proses yang terjadi. Pagi tadi, baru saja
dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau. Di pelataran ada puluhan babi yang
dibawa oleh tamu-tamu, kerabat, keluarga jauh, dan rekan keluarga yang berduka.
Upacara demi upacara dilalui, kondisi riuh rendah bercampur dengan suara babi
yang berteriak-teriak karena digotong kesana kemari, juga suara tamu yang
menghadiri pesta.
Babi sebagai 'seserahan' tamu keluarga
Kami
mendapatkan sajian khas spesial pesta: Nasi, Mie, Piong Babi Bumbu Hitam, dan
telor balado. Babi yang dimasak adalah babi yang dibawa oleh para tamu. Babi
disembelih dengan ditusuk dengan bambu, lalu bulunya dibersihkan dengan
dibakar, lalu dipotong-potong. Sebagian untuk keluarga yang berduka untuk
dimasak, sebagian lagi untuk tamu yang membawa. Kadang ada juga beberapa babi
yang dagingnya disumbangkan ke Gereja, nanti dibagikan lagi untuk pendeta,
pastor, dan jemaat/umat gereja.
Kami
baru boleh pulang setelah mendapatkan jamuan makan. Kami sebenarnya ingin
tinggal sampai dengan upacara adu kerbau, sampai pemakamannya. Tapi apalah
daya, rombongan 6 orang ini, 4 orang dosen, dan 2 orang adalah pelajar dan
mahasiswa yang sedang membolos dari tugasnya. Kami segera berpamitan dengan
segenap keluarga, dan kami melanjutkan perjalanan kami.
Waktu
sudah sangat siang, sudah pukul 13.50. Oleh Mas Charles kami diajak ke Kete’
Kesu dan Londa, sebuah kompleks pemakaman kuno yang sangat amazing dan masih
digunakan hingga saat ini. Maka dari itu, kenapa artikel ini saya beri judul
dengan Amazing Grave.
Kompleks Kete' Kesu'
Salah satu makam di Kete' Kesu'
Perjalanan
dari Bolu ke Kete’ Kesu tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar 20 menit.
Meskipun jalanan kota Rantepao sedang padat, tetapi perjalanan tetap lancar.
Tiba di Kete’ Kesu, kami langsung masuk. Setiap orang dikenai biaya Rp 10.000
untuk retribusi. Kete’ Kesu ini hanya terdiri dari Tongkonan dan Allang.
Tongkonan sendiri berasal dari kata ‘tongkon’ yang berarti berkumpul. Tongkonan
memiliki arti tempat berkumpul (nya keluarga besar). Sedangkan Allang adalah
sebuah lumbung yang biasanya terletak di depan rumah yang digunakan untuk
menyimpan bahan-bahan pokok. Semakin besar tongkonan dan semakin besar Allang,
maka semakin banyak juga anggota keluarga pokok. Tongkonan saat ini sudah mulai
tidak digunakan sebagai tempat tinggal utama, tapi hanya sebagai simbolis saja.
Selain deretan tongkonan dan allang, ada juga kompleks makam. Baik makam yang
berbentuk rumah, atau makam yang berbentuk goa. Biasanya, jenazah hanya
diletakkan di dalam peti saja. Kemudian diletakkan ke dalam makam berbentuk
rumah, atau digeletakkan begitu saja di goa atau kuburan batu. Siapa dimakamkan
dimana, biasanya juga mengikuti pendahulu-pendahulunya (ayah-ibu, atau kakek
neneknya). Jika dari jaman kakeknya sudah punya lokasi di goa untuk perkuburan,
maka bisa dipastikan sampai keturunannya kebawah juga akan dimakamkan di goa.
Seekor kerbau bersantai di Kete' Kesu'
Tempat boneka kayu perwujudan orang yang sudah meninggal
Pohon SBY dan Ibu Ani. Dua pohon ini ditanam oleh SBY dan Ibu Ani Yudhoyono
Setelah
puas melihat kompleks Kete’ Kesu, kami melihat-lihat sejenak oleh-oleh khas
Toraja. Ibu-ibu pun ribut memilih-milih barang untuk oleh-oleh. Dalam rombongan
ini, hanya saya dan Mas Charles saja yang laki-laki.
Kemudian,
kami melanjutkan perjalanan menuju ke Londa. Dalam perjalanan, kami bertemu
rombongan arak-arakan orang mati yang menggunakan sepeda motor, truk, dan
banyak mobil. Kabarnya, tingkat strata orang yang meninggal bisa dilihat dari
kerandanya (berbentuk Tongkonan). Semakin bagus kerandanya, maka strata
sosialnya juga tinggi.
Sebelum
ke Londa, kami mampir sejenak ke penjual Kopi Toraja asli. Kami tidak beli di
pasar karena kabarnya sudah dicampur dengan kopi macam-macam. Kami mampir ke
Warung Kopi Toraja di Jalan Poros Rantepao-Makale. Di Warung Kopi ini, tersedia
2 jenis kopi, yaitu kopi Arabica dan Kopi Robusta. Kedua-duanya dipisah lagi
berdasarkan lokasi penanaman pohonnya, yaitu di Awan dan Sapan. Kopi Awan
terpisah lagi jadi 2, yaitu Arabica dan Peaberry. Peaberry ini adalah kopi yang
disangrai dan digiling dalam keadaan bijih kopi masih utuh, sebutan lainnya
sebagai Kopi Lanang. Semuanya masih disajikan dalam bentuk bijih kopi yang
belum tergiling. Memang ada beberapa stock Robusta dan Arabica yang sudah
digiling, tapi jumlahnya tidak banyak. Harganya untuk yang Arabica per 200 gram
adalah Rp 75.000. Untuk Robusta per 200 gram hanya Rp 20.000. Sementara untuk
Kopi Lanang (Peaberry) seharga Rp 125.000 untuk 200 gram. Berat 200 gram adalah
berat penimbangan biji kopi. Jadi, saat setelah digiling beratnya bertambah,
jumlahnya tidak dikurangi lagi. Pengemasannya juga bagus, karena bungkusnya
mirip dengan kopi yang dijual di Starbuck. Disana pengunjung juga diperbolehkan
mencicipi dan mencium aroma kopinya terlebih dahulu sebelum membeli. Penjualnya
juga sangat proaktif memberikan penjelasan kepada pelanggannya.
Penjual menjelaskan secara langsung prosesing kopi yang dijualnya, karena semua proses kecuali menanam dan memanen dilakukan oleh penjual sekaligus pemiliknya ini
Setelah
puas membeli kopi, kami berlanjut ke kompleks makam Londa. Lagi-lagi tidak terlalu
jauh dari tempat membeli kopi. Hanya sekitar 20 menit perjalanan. Kali ini
makam di Londa adalah makam yang khas, terdiri dari sebuah goa yang dalam dan
besar. Dengan bagian atas juga terdapat goa. Kabarnya, goa bagian atas
digunakan untuk orang-orang yang strata sosialnya tinggi atau bangsawan.
Sedangkan goa bagian bawah adalah goa yang digunakan untuk menyemayamkan
jenazah dari kalangan biasa. Sama seperti di Kete’ Kesu tadi, jenazah dalam
peti hanya digeletakkan begitu saja di dalam goa. Di dalam goa, banyak rokok
dan air dalam kemasan bertebaran. Kabarnya lagi, orang yang sudah meninggal itu
kadang datang ke mimpi anggota keluarganya jika mereka ‘membutuhkan’ sesuatu.
Misalnya, orang yang sudah mati tersebut mampir ke mimpi anggota keluarganya
dan ingin minta dikirim coca-cola, rokok, dan merasa kedinginan. Maka sudah
menjadi kewajiban bagi keluarga almarhum untuk mengirimkan coca-cola, rokok,
dan selimut kepada almarhum dan diletakkan di atas petinya. Selain itu, di
Toraja tidak dikenal bunga tabur. Biasanya digunakan rokok sebagai pengganti
kapur sirih.
Saya
dan 3 orang lainnya masuk ke dalam goa sampai cukup dalam. Lorongnya memang
sempit, hawanya juga sangat lembab, tapi auranya tidak se mengerikan
makam-makam di Jawa. Kalau masuk ke dalam goa harus dengan menggunakan lampu
petromax. Pada dasarnya, pemberi jasa lampu petromax ini tidak menarik biaya,
hanya sukarela saja. Kenapa kok pakai petromax? Karena kalau pakai lampu
baterai akan susah nge-charge nya nanti.
Dalam goa yang sempit, tapi masih bisa lebih masuk lagi
Pukul
16.30. Kami sudah cukup puas berjalan keliling kompleks Londa, yang
mengingatkan saya pada salah satu kapal milik PELNI, KM Dorolonda. Kami
bergegas kembali ke hotel karena hari semakin gelap. Beberapa dari kami ingin
kuliner khas Toraja untuk makan malam di hotel. Apalagi kalau tidak babi.
Karena tidak semua dari kami beragama Katolik dan Kristen, maka yang non
kristiani sepakat untuk membeli pop mie saja, karena perut juga masih kenyang
(maklum wanita). Akhirnya, saya, ibu saya, dan satu teman ibu saya memuaskan
diri dengan membeli Nyuk Nyang (bakso) babi cabang Alang-alang. Setelah itu,
kami ingin membeli Piong Babi. Kata Mas Charles sih yang enak ada di daerah
Pasar Sore Makale. Kami semobil menuju kesana, tetapi jalannya ditutup karena
pasar sedang sangat rame sekali. Akhirnya kami memutar haluan, dan berencana
mencari Piong di jalur menuju hotel.
Nyuk Nyang Babi cabang Alang-Alang
Adalah
Warung Setia Kawan. Menjual berbagai piong, baik piong ayam, piong babi, atau
piong ikan (daging sapi sangat jarang di Toraja, ada pun sepertinya
mencurigakan itu daging campuran). Saya dan rekan perjalanan yang kristiani
membeli Piong Babi 4 buah. 1 nya untuk Mas Charles. Sekedar info, Piong adalah
masakan khas toraja, yaitu daging babi dan darah babi, beserta dedaunan khas
dan dibumbu khas Toraja, dibungkus daun pisang, lalu dimasukkan ke dalam
bumbung bambu, kemudian dibakar hingga matang. Setelah amunisi untuk malam itu
lengkap, piong, nyuk nyang, roti, pop mie, nasi, kami kembali ke hotel.
Piong Babi dan Sate Babi Setia Kawan
Pukul
18.00 kami tiba di hotel. Sebagian langsung mandi dan langsung tidur, sementara
lagi-lagi saya masih asyik menikmati nyuk nyang dan piong. Rasanya super
sekali, tidak ada di daerah lain. Rasanya sangat beda dengan masakan Manado
maupun Batak. Sedikit hambar, tetapi rasanya sangat otentik. Porsinya juga porsi
kuli sekali, baik nyuk nyang atau piongnya. Setelah kenyang makan, barulah saya
mandi, dan kemudian tidur malam untuk mempersiapkan fisik esok pagi.
Komentar
Posting Komentar