Tour de Celebes: Senja di Enrekang (Day 3)
8
Januari 2014. Kamar hotel dingin sekali. Alarm belum juga menyala. Kupikir
masih subuh. Tapi begitu melihat ke Jendela, mentari sudah tinggi. Dan Hpku
ternyata sejak semalam mati kehabisan baterai. Duh, gagal menikmati pagi di
Losari.
Dengan
sangat malas, saya beranjak dari kamar dan turun untuk breakfast karena sudah
pukul 08.00. Dengan muka bantal, baju kumal, dan celana kumal, bersandalkan
sandal hotel. Sementara yang sedang breakfast di hotel pakai baju hem rapi,
sebagian berdasi, sebagiannya lagi pakai jas. Biarlah, anggap saja sedang
menghina kapitalis. Seperti biasa, semua menu di breakfast saya coba. Mulai
dari bubur ayam, soto banjar, roti-rotian, salad, egg corner, sampai menu utama
saya coba. Pokoknya sampai jam 09.30 saya makan. Hari ini akan full berada di jalan karena trip menuju Tator, Tana Toraja, akan dilakukan siang ini.
Setelah
puas, saya kembali ke kamar lagi dan packing. Hari ini, rencananya saya akan
perjalanan menuju ke Tana Toraja bersama dengan ibu saya dan teman-teman ibu
saya untuk menghadiri upacara pemakaman saudara jauh sekali yang meninggal
beberapa bulan lalu. Ibu saya dan teman-temannya datang siang ini dari Jogja
dengan Garuda-Indonesia. Semalam sebelumnya, saya diminta pesan mobil ke Trac
Astra untuk mobil ke Toraja. Aslinya sih mending sewa dari Bandara saja, bisa
lebih murah. Tapi karena ibu saya hitung-hitungan akhirnya bakal sama saja,
tapi kalau pakai Trac, keamanan dan kenyamanan terjamin, akhirnya ibu saya
memilih pakai Trac. Saya memutuskan berangkat dari hotel pukul 11.00 karena
pesawat landing di Hasanuddin pukul 11.55. Telat sedikit tidak apa-apa, toh
pasti proses bongkar bagasinya lama sekali.
Pukul
11.00 saya sudah bersantai kembali di kamar setelah sedikit packing. Rencana
jalan-jalan ke Karebosi sudah gagal pagi ini. Mau pergi, juga tanggung kalau
waktunya Cuma 1 jam. Tiba-tiba HP saya berdering. Ternyata dari Mas Erwin,
Driver Trac Astra yang akan mengantarkan saya dan rombongan ke Tana Toraja.
Padahal saya minta jam 11.30, tapi jam 11 sudah datang. Sangat tepat waktu.
Saya
bergegas packing seadanya lalu turun ke bawah untuk check out. Setelah check
out, saya segera naik ke mobil Innova G hitam tahun 2014. Masih baru dan masih
bau cat mobilnya. Mas Erwin ini ramah, asyik diajak ngobrol, dan tahu banyak
tentang Makassar. Sebelum langsung ke Bandara, kami mampir ke kantor Trac Astra
dulu untuk ambil Invoice. Total habisnya Rp 1.800.000 untuk drop saja ke Tana
Toraja, termasuk bensin, fee driver, tol, dan parkir. Jadi kami sudah bebas,
tidak perlu bayar lagi. Toh kalau ke rentalan lain, mobil kosongan saja sudah
kena Rp 1.200.000, belum bensin pulang-pergi dan fee driver.
Sang Garuda menghempas siang di Pangkep
Perjalanan
ke Bandara kali ini lancar, lewat tol Reformasi. Mas Erwin nyetirnya juga enak,
stabil, tidak main potong saja. Tiba di Bandara, ibu saya telpon dan ternyata
belum tersambung. Mungkin masih belum landing, apalagi kabarnya delay 15 menit.
Jadi mungkin pesawat baru Landing jam 12.05. Sementara waktu masih menunjukkan
pukul 11.50. Mas Erwin saya minta tunggu di parkiran saja, sementara saya
menjemput ibu saya di gerbang kedatangan.
Gerbang
kedatangan pagi itu sangat padat. Tidak jelas mana penjemput, mana yang
menawarkan jasa. Mirip Bandara Juanda Terminal 1 lah lebih kurang. Banyak yang
menawarkan taksi, rental, ojek, dll dll. Pukul 11.55 pesawat landing. Saya
segera menelpon ibu saya, dan ternyata benar sudah turun dari pesawat dan
sedang proses ambil bagasi. Saya menunggu lama sekali, lebih kurang 40 menit,
baru bagasinya lengkap. Pukul 12.45 ibu saya baru keluar dari pintu kedatangan.
Entah kenapa pelayanan bagasi Garuda-Indonesia di Makassar ini lama sekali,
sangat lama dan membuang waktu malahan.
Kami
semua berangkat menuju ke Tana Toraja, bersama Mas Erwin. Perjalanan langsung
menuju ke arah Maros. Mas Erwin mengatakan perjalanan akan memakan waktu
sekitar 8-9 jam, jalan santai saja. Niat awalnya kami ingin mampir ke Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Tapi karena kelamaan ambil bagasi dan sudah
bete duluan, selain itu juga biar masuk Toraja tidak kemalaman, kami batalkan
niat ke TNBB. Perjalanan berlanjut lewat Trans Sulawesi yang sudah dibeton
bagus. Pemandangan kanan kiri juga bagus sekali, di sebelah kiri ada laut
lepas, di sebelah kanan ada deretan perbukitan menjulang, nampaknya ada TNBB
disana. Ada juga pabrik semen Bosowa di kaki gunung.
Aneka sambal Khas Pangkep, nggak ada yang pedes
Otak-otak, es jus, dan teh hangat
Jeng-jeng, pesanan kami: Pallumara Baronang dan Kakap Merah, baronang bakar, kakap merah goreng crispy. Katanya, di Makassar itu kalau makan satu ikan buat rame-rame katanya malu-maluin, soalnya harga ikan disana murah
Seporsi Pallumara (Sejenis pesmol dan acar kuning) kepala Baronang dan Kakap Merah
Pukul
13.30 kami tiba di Pangkep. Kami akan makan siang dulu. Saya minta ke Mas Erwin
supaya bisa mampir ke rumah makan yang menjual makanan khas. Lalu mampirlah
kami ke rumah makan Raja Muda di Pangkep. Menunya spesial ikan. Ikannya masih
cukup fresh, menurut saya lebih fresh daripada di Surabaya. Kami memesan Kakap
Merah dan ikan Baronang, dimasak bakar, goreng crispy, dan pallumara. Kami juga
memesan otak-otak.
Tidak
lama kemudian, makanan yang kami pesan pun tiba. Kami kemudian menyantap
pesanan kami. Pallumara ini rasanya seperti ikan masak pesmol atau ikan acar
kuning. Gurih, asam manis sedap. Bakarnya pun juga bakar tanpa digoreng dulu.
Sehingga tekstur ikan masih bagus. Goreng crispynya yang agak fail. Sebenarnya
enak difillet baru digoreng, tapi ini malah digoreng utuh. Yasudahlah.
Setelah
selesai makan, kami segera membayar. Untuk pelayanannya, cukup baik rumah makan
ini. Pelayanannya cepat, tangap, dan ramah. Rumah makannya juga bersih. Ikannya
segar. Sayang memasaknya kurang bersih. Harganya, menurut saya, juga mahal.
Untuk per orangnya rata-rata kena Rp 35.000,00. Padahal, di Seafood Genteng
Surabaya, satu orang dengan satu kakap putih bakar, minum es teh 2 , nasi 2
hanya habis sekitar Rp 27.000,00. Tapi untuk standar harga Makassar, harga
sekian sudah cukup murah.
Perjalanan
kembali berlanjut. Benar-benar perjalanan yang membahagiakan hati karena jalan
yang sudah berbeton, meskipun lubang sana-sini, tapi ditemani langit yang biru
cerah, matahari bersinar terang. Kanan-kiri pemandangannya menyejukkan mata
juga.
Kami
mampir sebentar di lepas Maros. Ada penjual dange dan surabeng. Karena kami
penasaran, kami berhenti sejenak, lalu membeli beberapa untuk dicicipi saja.
Ternyata sejenis Kue Rangin yang dijual di pasar. Tapi ini bahannya dari ketan
hitam bercampur kelapa, kemudian dibakar.
Ini namanya Dange
Masuk Kabupaten Barru. "Eh ada Kabupaten baru lho."| "Namanya kabupaten apa?"| "Kabupaten Barru."| "Eh, yang bener dong kalau jawab!"| "Iya, Kabupaten Barru!" | "Ih, geje ih"
Jalan yang sepi dan berbeton. Pantura Jawa aja kalah. Jalan 120-140 berani lah
Perjalanan
berlanjut. Beberapa kali kami berhenti untuk berfoto di daerah Kabupaten Barru
karena view yang bagus. Kami juga berhenti sejenak di gerbang masuk Kabupaten
Pare-Pare, tempat kelahiran BJ Habibie.
Langit siang itu
Mobil yang kami tumpangi dan kondisi jalan yang lengang
Pukul
16.00 kami memasuki Kota Pare-Pare. Bayangan saya, tidak jauh seperti Makassar
pasti kotanya. Dugaan saya salah. Warung makan yang saya temukan pertama kali
adalah......warung makan Soto Lamongan. Kemudian berderet di sebelahnya Ayam
Penyet Surabaya, Penyetan Lamongan, Bakso Solo, Bakso Malang, Terang Bulan dan
Martabak Lebaksiu Tegal. Menurut Mas Erwin, di Pare-pare in sangat banyak orang
Jawa. Makanya, makanan disini coraknya Jawa semua. Seperti the little Java lah.
Warkop Surabaya juga ada banyak disana. Dugaan sementara karena Pare-pare ini
punya pelabuhan yang besar yang sering disinggahi kapal-kapal dari Jawa. Selain
itu, jika akan ke Malaysia via Nunukan juga harus lewat Pare-pare.
Selamat datang di Pare-Pare
Pare-pare
cukup ramai sore itu, apalagi ada pasar sore di dekat pelabuhan. Kami
meneruskan perjalanan menuju ke arah utara, menuju ke arah Panrang. Jalur trans
sulawesi kali ini sangat mengecil, jauh lebih kecil daripada poros
Makassar-Pare-pare. Bis berpapasan dengan mobil saja harus sangat hati-hati. Di
daerah Sidrap, jalan bercabang 2 lagi. Yang satu ke arah Panrang, yang satu ke
arah Tana Toraja dan Palopo. Untuk Panrang, nantinya akan ke arah Mamuju,
Sulawesi Barat.
Kota Pare-Pare sore itu, lengang
Hari
beranjak petang. Jalanan kecil itu sepi-sepi ramai. Beberapa warga keluar sore
untuk sekedar mencari udara segar. Mobil masih melaju dengan stabil karena
jalanan kecil. Seharusnya, kami bisa tiba di Enrekang sebelum senja tiba kalau
tadi tidak kelamaan di Bandara. Kabarnya, senja di Enrekang sangat bagus
sekali. Tapi apa daya, kami tiba di Enrekang sudah agak gelap. Langit
menyisakan guratan warna orange-ungu, sisa senja baru saja.
Pare-Pare dari jalur Pare-Pare-Sidrap
Jalan menuju Enrekang
Jalanan
beranjak sepi, tapi tiba-tiba mobil yang kami tumpangi mengerem mendadak. DI
depan ada ramai anak-anak muda mengendarai motor. Saya pikir ada konvoi atau
tawuran atau geng motor. Mas Erwin mengira sedang ada layatan atau hajatan.
Ternyata kami salah semua. Itu adalah anak-anak muda dan beberapa orang tua
yang sedang berlarian mengejar kerbau yang lepas. Sebagian mengejar dengan
berlari, sebagian mengejar dengan motor. Ada sekitar 50an orang ikut lari
mengejar kerbau. Kerbau menjadi aset berharga bagi orang Enrekang, karena bisa
dijual dengan harga sangat tinggi. Kerbau yang dikejar ini larinya sangat
kencang. Speedometer mobil jalan pelan-pelan di belakang rombongan saja
menunjukkan kecepatan 40 km/jam. Warga kewalahan, apalagi kerbaunya sudah
berlari 5 km lebih. Kami ikut harap-harap cemas, karena kalau kerbau sampai
masuk hutan, susah sekali ditemukannya. Antrian di belakang pun mengular dan
ikut heboh dengan kejar-kejaran dengan kerbau ini. Sampai setelah mereka
mengejar sejauh 6 km, kerbau tadi tiba-tiba berbelok dan masuk hutan. Rombongan
pencari tambah kocar-kacir. Motor langsung digeletakkan diluar semua, dan
sebagian besar berlari masuk ke hutan membawa senter dan pentungan. Sebagian
lagi mengatur lalu lintas dibantu oleh polisi yang bertemu di jalan dan aparat
desa. Heboh sekali pencarian kerbau ini.
Senja di Enrekang. Orang-orang di depan bukan bagian dari geng motor, tetapi sekelompok warga yang kejar-kejaran sama kebo. Tambah ke depan, yang ngejar tambah banyak
Setelah
melintasi rombongan pencari kerbau, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sepi
sekali jalanan ketika itu. Apalagi jalanan berkelok-kelo dengan kanan kiri
hutan, sedikit rumah, dan hawa yang sejuk. Mas Erwin tidak ngantuk sedikitpun.
Justru semakin waspada karena jalan mulai menikung tajam dan sempit. Meskipun
jalannya demikian, bis-bis Toraja-Makassar adalah bis-bis besar yang juga
melewati jalan ini. Hanya sekali mobil berhenti untuk mampir kencing sebelum
masuk ke daerah berhutan-hutan. Kabarnya, meskipun jalurnya lebih ngeri dari Alas Roban, tetapi disini tidak ada kasus perampokan atau penghadangan kendaraan. Makanya banyak orang tenang aja naik motor malam-malam menembus Enrekang-Toraja.
Mas
Erwin tiba-tiba bertanya
“Nanti
menginapnya di hotel apa?”
“Di
Hotel Sahid Toraja, kemarin kami sudah pesan” Jawab saya
“Di
Sahid ya? Hmmm itu masih sekitar 40 km dari Rantepao, pusatnya Toraja”
Rombongan
langsung terdiam. Masih jauh sekaleeee. Salah pesan hotel rupanya. Akhirnya
kami sepakat untuk cancel pesanan via Agoda karena kami juga pesan via Agoda.
Sepanjang perjalanan tidak ada sinyal, sehingga cancel tidak bisa dilakukan.
Kami sepakat cancel dilakukan langsung di hotel. Karena jalan sangat
berkelok-kelok, saya kecapekan dan sedikit mual, akhirnya saya tertidur.
Bangun-bangun,
waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Sekitar 8 jam perjalanan. Lumayan untuk
perjalanan santai. Mobil sudah tiba di depan Hotel Sahid Toraja. Saya segera
masuk ke resepsionis untuk melakukan cancelation. Resepsionis ketika itu adalah
seorang laki-laki, yang wajahnya bukan wajah Sulawesi, tapi wajah Jawa. Mungkin
bagian office nya.
“Ada
yang bisa saya bantu mas?” Buka mas-mas bagian office
“Begini,
saya kemarin kan pesan via Agoda. Nah, kami baru tahu belakangan kalau ternyata
lokasi hotel ini 30 km dari Rantepao. Kami mau cancel saja.”
“Bisa
mas, tapi tetap dikenakan biaya menginap 1 malam karena cancelnya waktu hari H.
Mending masnya malam ini menginap disini dulu, cancel via Agodanya diurus dulu
supaya masnya tidak rugi. Besok siang baru pindah ke Rantepao.”
“Bisa
mas. Tapi di Rantepao kalau malam ada yang bisa dikunjungi?”
“Ya
kalau malam hanya kotanya saja, itupun kotanya sepi mas. Mau ke objek wisata,
juga sudah tidak ada. Rata-rata sewa mobil hanya per 12 jam, jadi start pagi,
jam 6 sore sudah harus kembali ke hotel.”
Akhirnya
kami mempertimbangkan lagi , toh kalau misalkan malam di Rantepao sudah sepi,
pasti juga sama saja. Toh rental mobil juga hanya bisa sampai jam 7 malam,
itupun dengan tambahan biaya. Kami akhirnya memutuskan untuk tetap menginap di
Hotel Sahid Toraja untuk 2 hari. Sehinga cancel batal kami lakukan. Kami juga
memesan 1 mobil Innova untuk bepergian selama di Toraja. Menurut saya cukup
murah, Rp 500.000 per hari all in, termasuk fee driver dan bensin. Apalagi
jarak kami ke Rantepao sekitar 30 Km (menurut Google Maps yang saya pegang saat
itu), dengan Makale saja masih 12 km. Kalau sewa sekalian di Trac bisa
berjuta-juta habisnya.
Kamar Hotel Sahid Toraja, sangat luas, luas sekali malahan, dan nyaman
Kami
segera masuk ke kamar yang telah disediakan oleh pihak hotel. 1 buah bangunan
berisikan 4 kamar, 2 double bed, dan 2 king size. Karena kami berenam, maka
kami memilih 2 double bed dan 1 king size. Hari sudah malam, kondisi sekitar
gelap sekali. Hanya ada suara beberapa ekor kodok dan jangkrik. Angin semilir
dingin. Kami segera berpamitan dengan Mas Erwin yang segera kembali ke Makassar
setelah mengantar kami. Kami masing-masing bergegas ke kamar tidur. Saya masih
belum tidur karena masih terlalu sore, masih pukul 21.55. Saya memilih
menikmati malam dengan Kopi Toraja yang memang disediakan hotel bagi
tamu-tamunya di dalam kamar. Baru lepas tengah malam saya terlelap.
Komentar
Posting Komentar